PART 1

121 41 8
                                    

Ketika tanganku membentur ke arah kiri, aku tidak menemukan lelaki yang biasanya terbaring di sampingku. Begitu pula dengan kakiku yang sekali dua kali menendang ke arah sebaliknya, juga tidak menemukan sosok perempuan yang selalu mengeloniku ketika terlelap.

Ranjang kini terasa lebih luas dari biasanya. Aku bahkan bisa berguling ke kanan dan ke kiri sekarang. Menyadari itu aku mulai mengucek ujung mata kananku. Meratapi diriku yang kini sendiri di balik kelambu yang menghalangi ngengat-ngengat nakal mengambil darahku. Pukul 03.20. Terlalu pagi untuk terjaga di umurku yang baru menginjak 7 tahun ini.

Bapak dan Mama tidak ada di sampingku. Padahal, semalam aku ingat betul Mama mengelus ubun-ubunku sebelum tidur. Sementara Bapak sudah terlebih dahulu mendengkur di sampingku dengan suara banter. Lalu, kemana mereka sekarang? Tidak mungkin Bapak sudah mandi sepagi ini.

Ingin rasanya keluar dari kelambu, tetapi tidak hari itu. Aku masih terbayang soal hantu-hantu, dan begitu banyak rasa yang masih abu. Bagaimana kalau diluar gelap dan aku tetap tidak menemukan Bapak dan Mama. Maka dari itu, aku tetap memilih nyaman dalam ranjangku. Meski masih sedikit ragu.

“Aku lapar, Ma,” begitu ucapku ketika terbangun dengan gigi kuning, Tetapi siapa peduli, ini hari minggu. Gigi kuning dan bau dibolehkan hari itu. Aku tetap berjalan dengan mata setengah terpejam. Mencari perempuan yang selalu menyambutku ketika pagi datang. Ah, tapi bukan dengan kecupan hangat di kening atau pun sapaan manis di pagi hari. Hampir setiap pagi datang membawa gayung berisikan sedikit air, lalu menyipratkannya tepat di wajahku. Namun, hal itu tidak terjadi di hari minggu.

Ceng ho! Sini, nak, sarapan!

Di meja makan ternyata Mama sudah terlebih dahulu siap dengan masakannya. Dia baru saja menaruh tempe goreng yang sudah selesai ditiriskan minyaknya. Ada sayur bayam juga di sana. Dan dua potong ayam goreng ungkep.

Tetapi, tidak ada Bapak di sana. Juga Bang Boru. Keduanya tidak pula nampak batang hidungnya. Biasanya setiap pagi kami sibuk berebut ayam goreng Mama.
“Abang sudah terlebih dahulu sarapan karena harus dinas pagi,” melihat putranya terheran-heran, Mama langsung bisa menjawab pertanyaan yang sebelumnya hanya timbul di pikiranku. Pemandangan yang biasanya tidak terjadi di rumah ini. Meja makan selalu menjadi tempat yang ramai dan menyenangkan.
“Mama ambilkan nasinya?” tawar Mama ketika aku menarik salah satu kursi. Tubuhku yang kecil agak sulit menggapai kursi tinggi itu. Aku harus menekannya dengan kedua tanganku hingga tubuhku terangkat, lalu mengambil posisi duduk yang enak.
“Aku mau tempenya dua sama sayur bayemnya dipisah, pintaku pada perempuan itu. Mama dengan senang hati mengambilkannya untukku. Mengingat tanganku yang belum cekatan mengambil itu semua sendiri.

Sepiring sarapanku siap disantap. Satu centong nasi dengan lauk dua tempe goreng tepung dan satu mangkuk kecil sayur bayam. Aku bisa mengendus aromanya yang nikmat. Apalagi ketika satu suapan kuah sayur itu meluncur di tenggorokanku. Sebuah kenikmatan yang patut disyukuri pagi ini.

Bapak kemana? Kok tidak sarapan? tanyaku setelah menelan beberapa suap nasi dengan potongan tempe goreng.
Kamu telat, Bapak sudah sarapan tadi pagi. Amat pagi malah, jawab Mama sembari membawa piring kotor ke dapur. Meninggalkan aku dengan sepiring sarapanku pagi ini.

"Ceng Ho, buatkan Bapak kopi, nak.”

Bapak sedang duduk sila di lantai, membawa kain lap dan radio di pangkuannya. Aku sedari tadi menelaahnya baik-baik dari tempatku duduk. Sambil sesekali berceletuk soal radio yang notabennya seusia Abangku. Bapak membersihkannya hampir dua hari sekali. Katanya, radio itu sudah tua, kalau tambah berdebu suaranya semakin sember.

Pahit atau manis, Pak? Aku berusaha turun dari kursi kayu itu. Kakiku yang menggantung saat duduk, kini menyentuh lantai pelan-pelan. Ah, membuat kopi bukanlah sesuatu yang sulit bagiku. Hanya soal mencampurkan air panas, kopi, dan sedikit gula. Lagipula, Bapak selalu memuji kopi buatanku. Sedap, katanya.

Sedikit manis. Sedikit saja gulanya, jawabnya dengan tangan sibuk menelusuri lubang-lubang kecil radio itu. Dia memberi sedikit air pada kain lapnya sehingga dapat mengangkat kotoran yang menempel di tubuh radio itu.

Aku berjinjit-jinjit, berusaha meraih gelas cangkir di lemari yang agak tinggi bagiku. Tanganku di naikkan ke atas menggapai susunan gelas itu. Lemarinya terbuat dari plastik, jadi aku tidak perlu takut tertimpanya. Selesai soal urusan gelas, aku menuangkan teko berisi air panas yang sepertinya baru saja dihangati Mama di atas kompor. Kalau Mama melihat pasti aku sudah kena marah. Jangan main-main dengan air panas, marahnya.

Aroma kopi hitam segera menyeruak ketika aku mengaduknya dengan sendok alumunium. Ting, ting, ting begitu suaranya saat menabrak dinding cangkir kala berputar. Suara yang menyenangkan, seperti mendengar suara Tukang Es Doger berkeliling memanggil anak-anak sesusiaku keluar rumah di petang hari.

Kopi siapa itu, Ceng Ho? ketika aku mengendusnya sekali lagi, sebelum berjalan menemui Bapak di teras, ada sebuah suara yang membuatku sedikit tersentak. Sontak aku segera memutar balikkan tubuh mungilku. Dengan secangkir kopi di tanganku yang sedikit gemetar.

Ternyata, Mama. Dia habis menggumuli cuciannya. Terlihat dari ember yang dibawa di pinggangnya. Juga bebauannya yang terasa harum sabun cuci. Tampak peluh mengucur dari dahinya. Gerah sepertinya siang bolong seperti ini mengucek pakaian kami sekeluarga.

Kopi buat Bapak, Ma, jawabku sembari mendekat kepadanya. Aku menjulurkan kopi itu dengan bangga di hadapan Mama. Alasannya agar dia bisa ikut mecium aromanya yang nikmat.

Tidak, Ceng Ho. Jangan berikan kopi itu! Taruh saja di dapur,” tegas Mama setelah mengetahui jawabanku. Aku agak tersentak, Mama jarang-jarangnya melarangku membuatkan kopi untuk Bapak atau juga melarang Bapak meminum kopi. Bukannya Bapak memang sudah terbiasa menyeruput kopi di usia senjanya? Aku menggaruk kepala bingung. Tetapi urung bertanya pada Mama apa sebabnya, ketika mendapati wajahnya sudah menunjukkan raut tak suka saat memandang kopi itu.

Sudah, taruh saja, Nak. Mama mengulangi kata-katanya. Perintah yang kedua kalinya. Itu tandanya Mama tidak akan berubah pikiran dan tetap pada pendiriannya. Aku tidak pernah berani membantahnya. Segera aku letakkan kembali kopi yang sudah mulai hangat itu di dekat kompor. Lalu membiarkannya bercampur dengan udara dari luar.

Aku bisa melihat Mama membawa cuciannya pergi. Dengan pinggang sedikit membengkok dan pinggul berlenggak-lenggok, dia meninggalkanku di dapur sendiri dengan kopi ini. Diam-diam aku bisa mendengar suara Mama samar-samar dari dapur. “Bapak kok lupa? Kan Mama bilang tidak boleh makan dan minum. Kenapa masih bandel?!”

Apa itu semacam hukuman?

CENG HOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang