Sekolahku tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. SMAN 3 Nathaaf, sekolah dengan akreditasi B. Karena tidak begitu jauh dari rumahku, hal itu sangat menguntungkan karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menuju sekolah. Sekolahku bukanlah sekolah terbaik di kota ini, tetapi aku tetap bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk sekolah. Kau tahu, aku memiliki berbagai macam julukan dari "teman-teman" sekolahku. "Si Keriting", "Manusia Aneh", dan masih banyak lagi. Marah? Tidak ada waktu untuk hal itu. Aku tetap menjalani hari-hariku dengan gembira. Aku tidak memiliki teman dekat di sekolah ini, karena sejak kecil aku kesulitan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarku.
Ting Tong! Ting Tong!Bel istirahat berbunyi, di saat teman-temanku pergi ke kantin untuk membeli jajan, aku hanya mengeluarkan sekantung plastik gorengan dari tasku. Ya, aku diberikan uang jajan hanya beberapa hari sekali. Tak apa, aku paham dengan situasi perekonomian keluargaku. Dengan bekal ini saja, aku cukup menikmatinya. Tentu saja gorengan itu dibuat oleh ibuku dari lubuk hati yang terdalam. Terebut! Bekal gorenganku dirampas oleh perempuan itu. Erina, perempuan yang memiliki hobi menjahili orang lain. Bagian menyedihkan dari orang satu ini adalah aku sekelas dengan dia, dan tentu saja aku adalah salah satu "mangsa"-nya.
"Woi Keriting! Lo gabisa beli jajan apa? Pantes aja muka lu kayak drum minyak!"
"Memangnya kenapa? Toh, itu bukan hasil memalak orang lain." Jawabku.
"Jadi lo nantangin gue sekarang? Liat aja pulang sekolah nanti!" Seru Erina kepadaku.
Yaps, bagus sekali Riri, Anda telah membuat marah perempuan paling menyebalkan disekolah ini. Mengarungi pelajaran di sekolah pada hari ini telah di penghujung waktu. Saatnya berjalan menuju rumah. Erina, terlihat sedang menungguku di depan toilet perempuan. Tiba-tiba dua orang temannya sudah ada di belakangku dan menarikku dengan paksa. Saat tiba di pintu masuk toilet tersebut, badanku ditendang oleh Erina dari belakang! Aku jatuh tersungkur. Lubang hidungku mulai mengeluarkan darah, mimisan. Dalam toilet remang penuh dengan corat-coret tulisan di dindingnya, Erina menjambak rambutku untuk melihat wajah yang sedikit mengenaskan ini.
"Sekali lagi lo nantang gue, habis hidup lo!" Bentaknya.
Apa yang kulakukan? Aku hanya tersenyum. Menahan ketawa karena melihatnya berbuat konyol seperti ini. Erina pergi bersama teman-temannya, kurasa ia cukup puas untuk melampiaskan amarahnya kepadaku. Aku pun tertawa terbahak-bahak saat mereka pergi. "Lihatlah! Perempuan sok jagoan dengan dua algojonya sudah pergi!" Aku tak bisa menahan tawaku selama beberapa menit, lantas aku bersihkan luka yang membekas di wajahku. Langit berwarna biru tua, jalanan sesak dipenuhi orang yang merindukan pulang. Aku berjalan menunduk menutupi wajah, waktunya untuk pulang.
********
Rumah, bangunan seukuran 4x6 meter tempat untuk aku tinggal. Lingkungan rumahku cukup padat dengan kanan-kirinya adalah rumah tetanggaku. Ayahku terlihat sedang menghisap sepuntung rokok kesukaannya. Ya, ayahku adalah perokok berat. Ia mulai merokok sejak ia menginjakkan kaki di bangku SMA. Karena hal itu, biaya rokok ayahku lebih besar dibandingkan dengan biaya makan untuk keluarga. Selama aku hidup di dunia ini, aku tidak pernah membanggakan dia. Waktu kecil, jika aku mendapat nilai di bawah angka seratus, aku pasti dipukuli oleh ayahku. Asal kalian tahu, hal itu berarti hampir setiap malam aku dipukuli olehnya.
"Hei Riri! Ada apa dengan mukamu?" Tanya ayahku.
"Hanya dipukuli teman, tak apa ini sudah biasa."
"Lain kali kau harus membalasnya! Dunia ini tidak sebaik yang engkau kira. Siapa yang kuat, dia yang menang!"
Aku tahu, itu adalah pernyataan paling salah sedunia. Ayahku masih berpikir hal konyol seperti itu. Memangnya dunia ini hutan? Aneh. Tiba-tiba, suatu kehangatan datang menjemput diriku. Ibu, ialah alasanku untuk berpulang atau lebih tepatnya ialah rumahku. Senyum tipisnya selalu membuatku nyaman. Ia datang sembari memelukku, rasanya segala sakit dari tubuh ini menghilang seketika.
"Sekarang kamu makan ya nak, tubuhmu harus diisi tenaga untuk esok hari." Kata ibuku dengan senyum tipisnya.
"Bagaimana dengan ibu dan ayah?"
"Tenang saja, tak usah dipikirkan."Ia pasti mengucapkan kata-kata itu. Dibalik senyumannya, aku tahu dia menyimpan kesedihan yang mendalam. Terima kasih Tuhan, kau telah menjadikan bidadarimu sebagai ibuku.
Di tengah lelapnya tidurku, aku mendengar ayahku berbicara dengan nada tinggi kepada ibuku. Apalagi? Jam telah menunjukkan angka dua belas tapi ia masih berbicara dengan nada seperti itu. Ia melakukan hal ini sampai setiap hari dan aku sudah terbiasa dengan hal ini. Pernah aku membela ibuku, tetapi aku malah ditampar oleh ayahku. Hal itu membuat ibuku menangis, maka lebih baik aku diam. Kata ibuku ayah memang seperti itu sifatnya, jika dibiarkan dia akan diam dengan sendirinya.