1.3 | nothing can change the fate

222 26 1
                                    

Wanita itu hanya duduk di atas kasur dengan pandangan kosong, membiarkan keributan di kepalanya kian menjadi-jadi. Memori buruk betah berkeliling di celah-celah kepala Miran; berisik dan saling berdesakan. Rasanya dia ingin meledakan semua isi otaknya jadi butiran debu.

Namun, sialnya, tiada yang bisa dilakukan selain melamun.

Menangis sudah terlalu lelah.

Ibu, ayah dan kakak perempuannya bahkan hampir putus asa tiap kali mengajaknya kembali pada kehidupan normal. Tak ayal hingga dibentak habis-habisan.

Semua cara sudah dilakukan. Di mulai dokter spesialis psikis yang rutin datang setiap Minggu, hingga kelembutan suara ibu dalam memanggil namanya diiringi tangisan gelisah. Belum ada yang berhasil.

Miran tidak seceria dulu. Jangankan tersenyum, bersuara saja seolah jadi beban berat baginya. Semua itu karena Kim Seokjin. Lelaki yang mati di tangannya dengan seukir senyum dan ungkapan yang takkan wanita tersebut lupakan seumur hidup.

Berbekal masa-masa bersama pria itu, Miran menghukum diri, menjauh dari semua orang termasuk keluarganya. Melupakan segala pengorbanan yang telah orang-orang terdekatnya lakukan demi membuatnya sembuh.

Bahkan, indranya telah menyerah memberi respon pada rangsangan dari luar. Seperti saat pintu kamarnya terbuka, Miran tetap terjebak oleh isi kepalanya sendiri, enggan peduli pada siapa pun yang datang.

Sera, si sulung dari keluarga Ree, menarik napas. Dia duduk memperhatikan Miran yang betah berfokus pada jendela.

Sinar jingga masuk menyentuh setengah bagian ranjang. Cuaca hari ini sedang bagus, berbanding terbalik dengan kantung mata sang adik tampak gelap.

Dulu, aroma pagi adalah kesukaan Miran sebelum pergi mengemban kasus bersama rekan-rekan polisinya. Meski pekerjaan tersebut acap kali merenggut waktu tidur, Miran sering bangun pagi-pagi cuman untuk menghirup kesegarannya kemudian sarapan dan kembali tidur beberapa menit. Kebiasaan yang aneh. Seokjin sampai hilang akal dibuatnya, sering menggerutu setiap berupaya membangunkan Miran. Tindakan itu dapat mengganggu sistem pencernaan. Miran tahu betul, sebenarnya. Alih-alih, dia menganggapnya sebagai salah satu dari candaan Seokjin yang tidak lucu. Lagipula, dia melakukannya semata-mata karena lelah. Seokjin mana paham sensitivitas wanita.

Miran tersenyum tipis pada ingatan tersebut, sengaja abai akan kehadiran sang kakak di sebelahnya yang sebisa mungkin sedang mengumpulkan kesabaran.

"Ayolah... ibu, ayah dan beberapa temanmu sudah menunggu, Ran. Ganti pakaian. Ini hari ulang tahunmu, ingat?"

Teman-teman, ya.

Tapi, setahu Miran, temannya hanya Seokjin. Dia tidak menganggap yang lainnya istimewa untuk bisa disebut teman. Dan lelaki itu sudah mati. Akan jadi pesta macam apa tanpa kehadiran Seokjin? Tanpa candaan juga hal-hal gila? Tanpa tawa atau sekelumit bahagia?

Persetan.

"Apa yang mereka harapkan dengan merayakan ulang tahun untuk mayat hidup, Kak?"

"Mira--"

"Seokjin tidak di sini."

"Oh, Tuhan." Sera mendesah, lalu mengerejap sebab matanya mulai basah. "Setidaknya lakukan untuk kami, keluargamu, orang-orang yang berharap kau kembali seperti dulu."

Miran terkekeh, penglihatannya tak lepas dari jendela, tak lepas dari kenangan Seokjin. "He said I wouldn't take over one bullet for him. Ridiculous, right? He's so fucking selfish."

Sera bangkit mengitari ranjang guna menyentuh pundak sang adik lalu menarik pandangan wanita itu ke arahnya. "Dengar," tekannya. "Jika begini kau sama saja menyakiti Seokjin. Menurutmu dia akan senang melihat orang yang dicintai menghukum diri sendiri karena kepergiannya? Kaupikir---"

Air mata Miran menjeda ucapan kakaknya. Sera berakhir tertegun, ada sesuatu yang menahan tenggorokannya seakan-akan meraup napas saja susah, terutama saat tatapan sang adik terpaku padanya.

Miran berdecih. Menyakiti, katanya? Bahkan, tatkala pria itu hidup dia sering menyakitinya. Lalu sekarang, saat dia tengah menghukum diri atas kelakuan di masa lalu dengan kesedihan yang terus ditanamnya setiap hari, mereka bilang Seokjin akan tersakiti. Bukankah seharusnya senang? Mengingat si Kim tersebut begitu membencinya terakhir kali saling bersitatap.

Namun, melihat sang kakak hendak membawa dirinya ke dalam pelukan, dengan sengaja Miran melontarkan gelak tawa--mengejek keadaan; mengejek kelemahannya; mengejek ceramahan kosong Sera.

"Apa kalian tak bosan mengatakan itu?" Miran mendengus diikuti air mata yang turun mengalir ke dagunya. "Kaukira aku membutuhkannya, huh? Sampah! Tidak ada gunanya! Seokjin tetap takkan kembali!"

Sebuah tamparan menjeda teriakannya. Tersisa dada yang kembang kempis menimbun amarah.

"Begitu? Inikah balasanmu pada ayah juga ibu?" Sera bersusah payah menjaga suaranya agar tetap terkendali. Akan tetapi, mendapati Miran apatis akan tiap perkataannya, Sera membentak, "Mereka mengorbankan segalanya sementara seorang Kim Seokjin menghancurkan semua itu hanya karena perkataan cinta? Semahal itukah cinta Seokjin hingga bisa membeli semua pengorbanan orangtuamu, Miran?!"

Tangan Miran masih menempel di sisi muka bekas tamparan. Memiringkan wajah, dia mengumpat samar. Rasanya cukup perih. Dia bahkan dapat merasakan rasa besi di area mulutnya. Bukan karena tamparan Sera, melainkan dia sendiri yang secara sengaja mengigit bagian dalam pipinya.

"Bagaimana jika kukatakan aku ragu?" Miran mencemooh. "Aku kesulitan menjawabnya, Kak."

Kali ini Sera bergeming, tangannya mengepal di kedua pahanya selagi berusaha menahan desakan air mata, memicing pada sang adik dengan kekecewaan bergerumuh. Tetapi, mengingat kembali usahanya, dia memilih pasrah, memutar tumit kala berujar pelan, "Kami merindukanmu, asal kau tahu saja."

Ketika jemarinya telah menggapai pintu, tiba-tiba suara dingin Miran menghentikan pergerakannya untuk beberapa detik.

"Seharusnya kalian biarkan aku mendekam di penjara selamanya. Itu hukuman yang sangat pantas untuk pembunuh biadab sepertiku."

[]

FORSAKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang