Jika kebanyakan manusia ingin lari dari kehidupan dengan berakhir menjadi mayat, Miran bukan termasuk. Dia lebih suka menghukum dan merasakan semua sakitnya secara sengaja. Mungkin karena dia enggan bertemu dengan Seokjin, menatap mukanya atau meminta maaf pada Kim Seung Jo. Terlalu malu. Terlalu pengecut. Dia akui.
Setiap makanan yang terhidang di atas nakas belum pernah Miran lewati atau bahkan berlaku dramatis dengan membuangnya. Justru, tanpa berat hati sama sekali, dia melahapnya sampai habis. Biarkan saja hidup dalam kesengsaraan. Tetapi, hidup...? Tidak juga, Miran tidak merasa hidup. Antara kematian dan kehidupan, dia berada di antaranya. Selayaknya hantu tanpa tujuan.
Malah, ketika psikolog datang dan bertanya banyak hal, dia bungkam untuk waktu yang lama atau mengusirnya. Terus begitu. Padahal sudah sebulan semenjak kematian Seokjin.
Tidak ada yang mengerti.
Miran benci semua itu. Semua orang, semua tentang kehidupannya. Miran benci pada kenyataan bahwa dia tidak dipenjara atas dasar melindungi diri, seorang penghuni motel jadi saksinya, berikut Yoongi dan sanak keluarga Ree yang kenal betul kepribadian baiknya; mereka membuat dia bebas dari hukuman. Alhasil, penyesalan dan penderitaan itu kian berlumut di dinding-dinding batinnya yang rapuh. Miran lebih dari sakit, dia tersiksa menyadari orang-orang masih peduli sementara dia sendiri telah menghancurkan kehidupan ayah dan anak.
Seokjin hidup di rumah saudara yang kerap menghardik sang ayah juga dirinya. Miran sebaliknya; bahagia di atas kehancuran keluarga Kim. Dan itu membuatnya muak.
"Miran, aku membawa sesuatu untukmu. Selamat ulang tahun."
Suara Yoongi. Pria itu tak pernah kelihatan bosan berkunjung, mengatakan banyak peristiwa serta nasihat yang seringnya dengan sentakan. Miran tetap enggan peduli, maunya hanya ditinggalkan kesakitan selama mungkin; membayangkan kehidupan Seokjin, mengingat cintanya, serta usaha pria itu untuk membuatnya bahagia.
"Kapan kau akan mengerti dirimu jika yang kaulihat hanya orang lain?! Kapan kau akan lupa pada kesedihan jika matamu masih memandang ke belakang tanpa penerimaan?!" bentak Yoongi, tepatnya seminggu setelah kematian Seokjin.
Tentu saja. Miran sadar betul. Meski ekspresi kosong yang terlihat, batinnya menjerit sengsara. Apa boleh buat? Dia pantas mengalaminya, sangat--walau semua orang berkata pemikirannya benar-benar salah. Lagipula, sejak kapan manusia bisa saling memahami rasa sakit orang lain selain sangkaan belaka?
Bila dikalkulasikan, ini adalah hari ke empat puluh kematian Seokjin. Musim dingin mulai menguasai Korea Selatan. Saat Yoongi masuk ke kamar--ditemani sebuah mantel tebal juga syal yang dibelinya kemarin sore--dia menyentuh pundak Miran hati-hati guna dibalutnya dengan mantel tersebut, lalu pelan-pelan mengalungkan syal seolah-olah gadis itu akan pecah kapan saja.
Paru-paru Yoongi mengerut, sensasi sesak acap kali didapatkannya setiap dwinetra Miran enggan bersitatap. Meski sudah terbiasa, Min selalu hilang kendali mengatasinya. Dia mengerejap, dikumpulkan kesabaran sebelum berkata pelan, "Warna peach selalu cocok dengan kulitmu, ya. Terlihat manis."
"Kau membuang waktumu, Min." Miran menyandarkan diri ke kepala ranjang, fokusnya berpindah pada selimut di atas pahanya.
Walaupun lelaki itu pernah mengisi hati Miran dengan gelar cinta, namun tiada yang bisa masuk ke bagian jiwanya yang hilang dicuri Seokjin. Rasanya percuma. Kendati begitu, batinnya berbisik kalau Yoongi tidak pantas mendapatkan perlakuan begini.
"Aku senang melakukannya untukmu." Yoongi menipiskan bibir, gagal menyunggingkan senyum.
"Bukankah aku terlihat menyedihkan? Harusnya kau lari bersama wanita lain."
"Tujuan langkah kakiku hanya padamu, Miran." Dia berseringai miris. "Selalu begitu kemana pun aku pergi, bagaimana bisa aku berpaling semudah yang kaukatakan?"
"Kau menyedihkan."
"Memang. Juga orang-orang di rumah ini. Karena dirimu."
Miran mencebik. "Basi."
Baiklah. Kali ini Yoongi tersulut. Wataknya memang pemarah, Miran telah mengenal sisi itu, jadi dia tidak pernah keberatan menunjukannya lagi dan lagi. "Kau terjebak," katanya nyaris tertahan. "Aku cuman perlu membawamu kembali dari semua pikiran sialan itu. Tidakkah kau sadar bahwa mungkin hari ini atau esok adalah hari terakhir mereka memanggilmu?"
Miran terkesiap. Ucapan itu. Seokjin sempat mengatakannya.
Hari terakhir seseorang memanggilmu.
"Kau boleh egois pada kesedihanmu. Tapi saat detik-detik itu berhenti, saat kau sadar bukan hanya dirimu yang hidup di dunia ini, saat kau mengusir semua orang lalu pada akhirnya mereka benar-benar pergi; penyesalan tidak ada gunanya lagi. Kau membiarkan dirimu terkurung dalam lingkaran itu." Yoongi mengusap kasar wajahnya sebelum kembali pada presensi Miran. "Menghukum diri sendiri omong kosong! Asal kau tahu, yang mengerikan itu bukan kesepian atau ditinggalkan, tapi ketika tubuhmu tak berdaya melakukan apa pun. Sampai-sampai tidak ada yang bisa kaulakukan selain memohon untuk segera mati. Apa itu yang kau inginkan?"
"Ya--"
"Tidak, Miran. Kau tidak sedang menghukum diri, melainkan keluargamu! Oh, astaga, mengertilah! Hukuman macam apa, huh? Meringkuk sendirian dan membiarkan semua orang merawatmu?! Sial. Kau bahkan membuat ayah dan ibumu berhenti tersenyum!" Yoongi diam-diam terpejam melawan air mata, napasnya bergerumuh, dia melanjutkan setengah terisak, "Kau larut pada Kim Seokjin yang jelas-jelas sudah tiada sementara kami menderita melihatmu. Kau masih di sini, hidup, di dunia dengan sekeliling manusia yang menatap wajahmu dengan senyum, tulus bertanya kabarmu. Apa lagi yang kau harapkan? Sudah cukup, okay? Setidaknya cukup Kim Seokjin. Jangan siksa orang-orang yang berharap kau pulang."
Sekonyong-konyong, wajah ayah, ibu serta Kak Sera merangsek ke bayangan, sedikit mengusir jejak-jejak Seokjin. Hanya sedikit namun cukup mempengaruhinya.
Miran mengepalkan tangan, menahan teriakan.
Dan Yoongi bisa merasakan kekasihnya terguncang akan perkataan tadi, dia melihatnya sebagai cahaya harapan.
"Pergi dari sini," final Miran.
Well, mungkin bukan sekarang. Tidak apa-apa. Yoongi takkan berhenti. Ia yakin suatu hari nanti Miran akan kembali. Itu terbukti dari bola matanya yang menegang setiap Yoongi membicarakan perihal kondisi ayah-ibunya. Mau bagaimana pun, Miran menyimpan banyak kasih sayang pada keluarganya. Dan Yoongi hanya butuh kesabaran lebih berjalan di atas kebekuan hati Miran, wanitanya, kesayangannya.
Suatu hari nanti, telinganya akan mendengar kehangatan oleh panggilan Miran.
Suatu hari.
Yang di mulai dengan, "Kumohon. Tolong aku, Yoongi. Buat aku mengikhlaskan segalanya."
[fin.]
Kritik dan saran sangat ditunggu!
Luv ya!Salam cinta,
Serin.