Bagian Yang Hilang

33 3 2
                                    

Pada sore hari yang mendung di sebuah rumah sakit jiwa di Bogor, suasana terasa berat dan penuh ketidakpastian. Langit kelabu menggantung rendah, menutupi lembah dengan kabut tipis yang semakin tebal. Di sekitar kompleks rumah sakit, deretan bangunan tua berdiri dengan tembok yang mulai pudar, seakan menyimpan ribuan cerita dari masa lalu.

Di halaman yang luas namun sepi, beberapa pasien berjalan perlahan, sebagian terdiam, dan sebagian lainnya berbicara dengan nada pelan, tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Pohon-pohon besar yang mengelilingi area tersebut bergoyang pelan diterpa angin lembut, menciptakan suara gemerisik yang menambah kesan sunyi.

Saat awan gelap semakin tebal dan angin mulai bertiup lebih kencang, suasana berubah. Para perawat dan petugas mulai mengarahkan para pasien untuk masuk ke dalam gedung, sebelum hujan yang diperkirakan segera turun. Pasien-pasien yang berada di luar mengikuti dengan langkah pelan, beberapa tampak gelisah, sementara yang lain menatap langit dengan tatapan kosong. Aroma tanah yang basah mulai tercium, menandakan hujan yang akan datang.

Rumah sakit jiwa itu, dengan atmosfernya yang suram dan penuh misteri, menjadi tempat di mana realitas dan ilusi seringkali sulit dibedakan. Di sana, di bawah langit Bogor yang mendung, cerita-cerita pribadi para pasien bersatu dalam keheningan yang menggantung, menunggu hujan yang akan membasuh semua.

Ketika semua pasien sudah berada di dalam ruangan, suara hujan mulai terdengar, awalnya hanya beberapa tetes yang jatuh, namun segera berubah menjadi deras. Hujan turun dengan intensitas yang semakin meningkat, menciptakan irama alami yang menenangkan, meskipun melankolis. Suara tetesan hujan di atap dan jendela menjadi satu-satunya suara yang terdengar di aula utama rumah sakit.

Di tengah keheningan yang diiringi oleh hujan, pintu utama terbuka dengan sedikit suara berderit. Seorang pria muda, berumur sekitar 20 tahun, masuk ke dalam gedung. Dengan tinggi sekitar 181 cm, ia terlihat tegap meskipun pakaiannya sedikit basah. Pria itu mengenakan jas tebal dan panjang, yang jelas telah melindunginya dari sebagian besar hujan di luar. Jas tersebut tampak sedikit berkilauan, basah terkena rintik hujan yang masih tersisa.

Dengan langkah pasti, dia berjalan menuju meja resepsionis. Di sana, seorang petugas resepsionis yang tampak lelah namun ramah menunggu, tersenyum kecil padanya. Pria itu melepaskan beberapa tetes air dari ujung jasnya sebelum mengeluarkan suara, bertanya tentang jadwal dokter yang dikenalnya. Suaranya lembut, tetapi ada nada kepastian di dalamnya, seakan kehadirannya di tempat itu sudah lama dinantikan atau direncanakan.

Petugas resepsionis, setelah melihat sekilas ke arah pria tersebut dan mencocokkan wajahnya dengan ingatannya, dengan cepat mencari informasi di komputer di hadapannya. Sementara menunggu, pria itu menatap keluar jendela besar di sebelahnya, menyaksikan hujan yang semakin deras. Di luar, dunia tampak sedikit buram, tersapu oleh air yang mengalir di kaca. Setelah beberapa detik mencari di layar komputer, petugas resepsionis menemukan informasi yang dimaksud.

Dengan senyum ramah, ia menoleh kembali kepada pria itu dan berkata, "dokter Christ ada di ruang 2A, Tuan. Beliau bersedia ditemui sekarang."

Pria itu mengangguk pelan, matanya menunjukkan kilatan terima kasih. "Terima kasih," jawabnya singkat, suaranya tetap tenang dan sopan.

Dia kemudian berjalan menuju koridor yang ditunjukkan oleh petugas, melewati beberapa pintu yang tertutup rapat. Langkahnya mantap, meskipun sesekali terdengar bunyi sepatu basah menyentuh lantai.

Di sepanjang koridor, suasana terasa hening. Lampu-lampu neon di langit-langit memberikan cahaya putih yang agak dingin, mempertegas suasana steril rumah sakit. Beberapa staf dan pasien lain yang berada di sana hanya melirik sekilas, tampaknya sibuk dengan urusan mereka sendiri.

Love In DepressionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang