🍁

21 1 3
                                    

"Katakan selamat pagi bagi kita yang tak pernah bertegur sapa. "

🐼🐼🐼
🐼🐼
🐼

Disini kita bertahan dengan jarak. Aku berdiri diatas kejujuran, dan kau pada ego juga cemburu. Karena pada dasarnya kita sama-sama lemah akan ketakutan. Kita tak saling menggenggam, namun rasanya begitu terikat hingga sesak. Benang abu-abu membuatnya semakin buruk. Aku tak tahu hal ini semacam benar atau salah. Atau mungkin, kita yang dengan sengaja membodohi diri .
Retinaku meraba. Lalu kemudian tak sengaja tertusuk,tergores. Sarafku yang perasa. Otakku yang berteriak. Jantungku yang bosan. Kembali, retina yang panas, beranak-pinak sungai kemudian gersang oleh jemari. Hati yang pilu. Menjerit! Membisik jika lelah oleh sakit. 
Logika jengah. Mari berhenti dan lupakan.
Teduhnya batin merasa diri lebih mampu dari segalanya. Bercokol pada pendirian bahwa pelangi akan ada selepas redup juga badai.
Dibalik itu semua, ada diri yang bernafas gusar. Kepala yang terasa membludak. Dihadiahi dengan jerat larut hingga tak mampu menyapa mentari esoknya. Merasakan embun membalut asri.
Kita berdua merasakan.
Kita akan menarik ponsel pada cuping. Kemudian sama-sama mengeluh penat. Meskipun terlampau sering kau yang kupaksa. Lalu tertawa dengan kebodohan masing-masing.
Jika seperti ini,  sudahkah kita disebut dewasa?
Karena membabat percakapan, rasanya tidak sanggup. Berakhir pada salah satunya menjemput lelap terlebih dahulu. Meskipun jawaban JANGAN terlontar pedas setelah kalimat, "kututup ya?"
Benar.
Jarak adalah masalah.
Ia bisa dengan mudah memisahkan. Karena raga tak semena angin.
Membungkam lirih perih kemudian kesalahpahaman.
Sering kali aku bertanya. Sampai terkadang kau acuh. Terlalu nyaman bersanding dengan pilihanmu. "Aku akan berhenti jika waktunya tiba."
Melempar candaan bahwa aku tak mengguna adalah jawaban yang tepat.
"Ck!" Balasmu tajam.  "Sudahlah!"
Saat itu aku yakin, logika kita tengah meronta.
Namun,hari ini kuhadapi lagi diammu, setelah kau terguguh akan orang lain kemarin. Ini yang menyakitkan. Nyatanya kau masih belum menerima bahwasanya kita terlalu jauh.
Logikaku kembali menyeret sekantong kemungkinan yang pernah kau ucapkan. Bersmirk dengan angkuh.
Bayangkan.
Betapa menyenangkan ketika dapat menyelami netra masing-masing?
Ada tentram menghampiri ketika nyatanya masih berpijak dibelahan bumi yang sama.
Beriringan, berbagi udara.
Meskipun diam, kita saling mengerti.
Ini buram. Logikaku kuseret kembali bersama ego yang mulai tumbuh. Menyimpannya pada sel asing. Berharap saja jika darah putih melahap habis. Memberi peringatan pada diri sendiri jikalau
Waktu akan menyambut dengan sabit bulan diwajahnya. Berbaik hati. Karena kita yang berlapang. Maka berdamailah, agar keadaan tak serumit urat kapas.
Jarak dengan segala serakahnya akan membawa diri pada paham yang sesungguhnya. Dimana topeng akan terlepas sendiri. Sabar yang tak berujung diuji. Hati yang ditempa akan teguh dan logika diasah layaknya bilah.
Dan kita akan dengan ringan menjawab, " Aku sudah terbiasa bahkan dengan yang lebih parah."

Hope you know🍁Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang