BAB 2

8 1 0
                                    

RAIN IN JIANG NIAN

BY: Dacytta Peach

"Teruslah berjalan atau kau tidak akan mendapatkan apa pun."

Mengingat pesan itu terasa begitu nyeri di ulu hati. Air mata kembali mengalir dari pelupuk mataku yang sembab. Kenapa kau pergi meninggalkan diriku, Shang Nan? Banyak kisah yang sudah kita lewatkan bersama. Mungkinkah kau dengan mudah melupakannya? Mungkinkah kisah kita tidak seindah yang kaubayangkan?

Termangu seorang diri di tempat pemberhentian kereta, aku hanya bisa menunggu cinta pertamaku kembali. Angin yang berembus sedikit kencang, menerbangkan beberapa helai daun kering tepat di hadapanku. Mendongak, kutatap warna langit yang mulai menggelap. Tak terasa musim hujan telah kembali.

Hari ini, tepat dua tahun yang lalu kau pergi meninggalkanku. Masih jelas di benakku bagaimana ekspresimu waktu itu. Kesedihan memang tidak bisa disembunyikan meski serapat apa pun. Meski kau tersenyum, perpisahan tetap tidak bisa menyembunyikan air mata yang menggumpal dan menggenang di pelupuk mata.

"Ah Cy, jangan pernah menangis setelah ini. Perjalanan kita begitu panjang, akan terasa sia-sia jika kau meneteskan air mata untuk hal-hal yang tidak berguna." Nasihat pria berambut cepak itu terasa begitu mengena di hati. Perkataannya yang bijak selalu saja membekas, menjadi tonggak awal diriku untuk selalu bertahan dan terus menanti.

Sembari mengusap pipiku yang masih basah oleh air mata, Shang Nan mencoba untuk tersenyum. Aku tahu, Shang Nan sama sedihnya seperti diriku. Kami sama-sama tidak ingin berpisah. Kebersamaan yang indah tidak mungkin akan terhapus begitu saja.

"Kita tidak tahu kapan takdir akan mempertemukan kita kembali, tapi selagi kita menunggu, kita bisa saling menguatkan hati kita masing-masing. Ah Cy, aku tidak berharap kau akan setia padaku tapi selagi ada pria baik hati yang akan meminangmu maka terimalah. Dunia ini tidaklah sempit, kau pun akan beranjak dewasa dan bertambah cantik. Teruslah berjalan atau kau tidak akan mendapatkan apapun."

"Tapi Shang Nan ...."

"Dengarkan saja kata-kataku. Bukan manusia yang memegang kendali atas takdir, serahkan segalanya pada Dewa. Apa yang akan terjadi nanti, itu semua adalah kehendak Dewa. Ah Cy, bersabarlah!" ucap Shang Nan sembari mengusap bahuku dengan lembut. Sebuah senyum tampak mengulas di bibirnya yang tipis.

"Shang Nan, kau adalah cinta pertamaku. Mungkinkah kau akan melupakanku setelah kau pergi?" ungkapku dengan wajah menyendu.

"Kenapa kau berkata seperti itu? Cinta bukanlah hal main-main. Ketika aku berkata bahwa aku menyukaimu, itu berarti aku memang tulus dalam mencintaimu. Ah Cy, berjanjilah untuk selalu menjaga diri. Waktu akan berjalan sangat lambat dan menyakitkan, tetapi percayalah ada harga yang pantas dibayar setelah perpisahan."

Bibir merah nan tipis itu berucap seolah tiada sesal, aku yang mendengarnya semakin tidak kuasa. Air mata yang sedari tadi kusimpan kembali tumpah ruah. Sungguh aku benar-benar tidak berdaya. Kala itu bibirku tak sanggup berkata, hanya tangisanku yang menjadi ukuran betapa bersedihnya diriku akan kepergiannya.

"Shang Nan, benarkah tahun ini kau tidak akan kembali lagi? Apakah kau tidak bisa merasakan betapa aku sangat merindukanmu?" rintihku pelan dengan tubuh mulai bergetar. Kugigit bibir bawahku sedikit keras, aku bertahan dan terus bertahan.

Tak peduli bagaimana angin meniupku, tak peduli dengan langit mendung yang menaungi tubuhku, aku masih merasa sibuk dengan penantian panjang yang kulalui. Entah sampai kapan penderitaan akibat penantian ini bisa terangkat bebas dari tubuh dan jiwaku.

Otak lelahku kembali memutar kisah cinta dua tahun yang lalu. Berdekatan dengan seorang pria tampan tapi sederhana bernama Shang Nan. Pria yang memberiku payung kertas bermotif bunga peoni dan berdiri dengan tubuh basah kuyup. Sembari menatapku, dia  tersenyum sangat hangat.

"Hujan turun sangat lebat, aku tidak tahu kapan hujan akan berhenti. Melihat keadaanmu yang seperti ini, aku tidak bisa membiarkanmu basah kuyup. Ah Cy, pakailah payung ini! Aku tidak ingin kau kedinginan lalu sakit." Senyum Shang Nan terlihat begitu cemerlang, sinar dari wajahnya bagaikan mentari yang bersinar sepanjang musim panas.

"Shang Nan, kenapa kau memberikannya padaku? Kau bisa memakainya sampai ke sekolah rakyat di ibu kota Jiang Nian. Hujan begitu lebat, kau tidak bisa pergi tanpa payung itu."

Aku berusaha menolak meskipun aku sendiri sebenarnya membutuhkan payung untuk memayungi tubuhku yang basah. Waktu itu harga payung sangatlah mahal, hanya orang-orang yang memiliki cukup uang saja yang bisa membeli payung kertas berkualitas baik.

"Tidak apa-apa, pakailah! Setelah ini kereta menuju ke sekolah rakyat akan tiba. Aku bisa menunggunya sebentar lagi," ujar Shang Nan dengan tenang. Tangan berkulit kecokelatan itu masih menyodorkan payung ke hadapanku.

Terdiam sesaat, aku merasa enggan jika menerimanya begitu saja. Niatnya terlihat begitu tulus, niat yang mampu menggetarkan hati kecilku beberapa saat kemudian. Dengan sedikit ragu aku meraih payung itu dan merapatkan diri di samping Shang Nan. Dia menatapku dengan heran, tetapi kali ini aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman manis.

"Kita bisa memakainya bersama-sama. Aku akan menunggu bersamamu hingga kereta menuju ke Jiang Nian datang. Apakah kau keberatan?" tanyaku pelan seraya menatap bola matanya yang hitam.

Balas tersenyum, Shang Nan hanya menggelengkan kepala.

"Tidak, aku tidak keberatan sama sekali." jawabnya singkat. Lama kami terdiam hingga akhirnya Shang Nan berinisiatif untuk mencairkan suasana.

"Ah Cy, apa kau menunggu seseorang? Hujan turun cukup lama, tidak baik jika kau menunggu tanpa memakai payung. Kau bisa terkena demam," ucapnya dengan nada penuh perhatian.

"Ibu menyuruhku untuk menjemput penjual kain dari ibu kota. Aku tidak tahu jika hujan akan terus turun dan berlangsung begitu lama," jawabku dengan pelan. Aku menunduk, tidak bisa menyembunyikan wajah merahku akibat perhatian yang ia lontarkan.

"Kalau begitu pakai saja payungku. Kau bisa memakainya kapan saja bila perlu," ucap Shang Nan sambil menatapku.

"Benarkah?" ucapku berbinar, kubalas tatapan matanya dengan penuh rasa syukur.

"Ya," pungkasnya lalu kembali melengkungkan senyum.

Sejak saat itu, hampir setiap hari apabila hari hujan, aku tak lupa memayunginya sembari menunggu kereta. Pria yang sering kujumpai dan jarang bertegur sapa itu, kini dalam waktu singkat bisa akrab dan semakin dekat. Aku bersyukur bisa bertemu dan mengenal Shang Nan dengan begitu baik.

Yuk, kalau penasaran sama kelanjutannya, bisa langsung order bukunya yaaa

CINTA PERTAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang