Bab I: Bermula

42 2 0
                                    


Serpong, 4 Oktober 2014


Kisah kita dimulai tanpa kita tahu.

Meski begitu kau berakhir menjadi candu.

Candu yang terus memanggil.

Memanggil diriku setiap saat.

Semoga kita berakhir bahagia.

Hanya itu yang kumau dari kisah kita.

"Put, aku udah di parkiran ya. Kalo kelas kamu udah selesai langsung aja turun. Oke?" Sebuah pesan di barisan teratas membuat mataku terpaku kesana dan mebuahkan ulasan senyum di ujung bibirku. Rasa senang dan bahagia yang membara membuat aku ingin segera keluar dari kelas dan langsung menuju ke parkiran yang berada di lantai dasar, bertemu dengan si dia yang kurindukan.

"Oke. Tunggu 10 menit lagi paling lama, ya?" jawabku kepada Tama, seorang sahabat bertengkar yang berhasil meluluhkan hatiku setelah 3 tahun bersama. Kami berkenalan sebagai teman sekelas yang sering berkomunikasi lewat pertengkaran karena beda pendapat. Benci jadi cinta? Ya, kurang lebih begitu adanya.

Entah mungkin keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Dosen yang terkenal sangat tepat waktu itu, hari ini menyelesaikan kelasnya lebih cepat. Setelah memastikan semua hal sudah kutuntaskan, aku langsung mengambil tasku dan menuju ke parkiran dengan secepat kilat.

Keluar dari kelas, aku langsung belok ke kanan dan berlari lurus ke arah lift. Lift yang biasa kunaiki terasa turun secara perlahan. 5...3...2...1.... Ayo! Cepetan buka pintunya, plis!

"Hey.... How are you?" sapa Tama secara manis sesaat setelah aku membuka pintu mobil hitam miliknya. Wangi vanila manis yang candu menyambutku setiap kali aku memasuki mobil kesayangan Tama.

"Hey, Baby! Of course it's a tough day like usual. But it's my routine, so...," ucapku sambil langsung duduk manis dan memasang sabuk pengaman. Mobil berjalan beberapa saat kemudian. Kupandangi supir pribadi yang mengemudi disampingku yang terlihat sangat keren dengan kemeja biru tuanya.

"Apa sih kamu liat-liat?" Sebuah pertanyaan membuyarkan pandanganku. Dengan sedikit malu aku pun menjawab, "Emang kenapa? Ga boleh?" Tama yang berada di sampingku mulai menggelengkan kepala menandakan jawaban tidak darinya. "Ih! Ya udah!" Sambil berpura-pura terlihat kesal aku memalingkan kepalaku ke arah jendela. Tama mengerti bahwa aku bercanda sehingga tak lama kemudian tawapun keluar dari mulut kami berdua.

Lagu-lagu karangan Fiersa Besari mengiringi dan menemani kami dalam perjalanan. Setelah dua puluh menit berkendara, Tama memarkirkan mobilnya di depan restoran cepat saji yang sudah cukup terkenal. Kami keluar dari mobil dan menuju ke pintu masuk. Tama membantuku masuk dengan mendorong dan menahan pintu berstiker huruf "M" warna kuning dan merah. Kami menuju ke meja pemesanan dan menunggu 3 orang di depan kami.

"Mau pesan apa?" tanya Tama kepadaku sambil menunjuk ke arah menu yang bergantung di belakang kasir. Karna tak berselera makan, aku memutuskan untuk membeli es krim dengan taburan biskuit oreo.

"Aku mc flurry aja. Kamu pesan apa?" Aku menengok ke arah Tama setelah memberi tahu pesananku. Setiap Tama berpikir, ekspresinya selalu terlihat menggemaskan. Alis tebal mengernyit dan mulutnya bergumam tentang apa yang harus dia makan.

"Selamat datang, boleh saya bantu pesanannya?" ucap mbak kasir kepada kami. Aku menyolek Tama sebagai kode menyuruhnya untuk menyampaikan pesanan kami.

"Kami pesan mc flurry dua ya." Mbak kasir dengan sigap langsung mengurus pesanan kami dan menyelesaikan pembayaran. Kami menuju ke meja yang berada di pojok restoran tepat di bawah televisi yang sedang memutarkan tayangan olahraga tenis.

"Kamu pas kecil gendut apa kurus?" Aku membuka pembicaraan sambil menyendok mc flurry yang ada dalam genggaman. Tama yang sedang sibuk mengaduk es krim oreo itu berpikir sejenak dan mengambil kartu pelajar yang dia simpan di dompet hitam miliknya.

"Gendut, weh! Coba kamu liat, jelek banget ga sih?" jawab Tama sambil menyodorkan kartu pelajar saat dia masih SMP kepadaku. Jelek katanya? Aku malah menganggapnya imut. Pipi Tama yang sekarang sangat kurus, terlihat menggembul di foto kartu pelajar itu. Setengah badan atasnya terlihat sedikit gempal tertutup oleh baju putih berlambangkan osis warna kuning.

"Kamu bilang jelek? Kamu belom liat pas aku gendut ya?" Aku langsung mengeluarkan ponselku dari tas dan mencari foto-foto saat beratku masih 72kg. Setelah mencari beberapa lama, aku kemudian menunjukkan fotoku kepada Tama.

"Itu kamu? Iya sih..., gendut juga ya." Tama kemudian membandingkan aku dengan foto lamaku. Dia mengatakan bahwa pipiku mengalami perubahan yang sangat drastis. Bagaimana tidak? Aku kehilangan 12kg dalam waktu setahun.

"Tam, aku kan orangnya monoton, kalo kamu mulai bosen sama aku atau hubungan kita, tolong bilang ke aku ya! Aku ga mau maksain orang lain menderita untuk bikin aku bahagia." Aku menyampaikan ini dengan pertimbangan hubungan kami langgeng hingga bertahun-tahun.

"Iya, Put. Maafin ya aku orangnya bosenan. Aku akan coba untuk langgeng sama kamu!" jawab Tama yang membuat hatiku berdebar. Aku sangat senang mendengar dirinya ingin berjuang.

"Minggu jalan yuk, Put!" ajak Tama kepadaku. Hari minggu merupakan hari wajib yang tidak bisa dimasuki urusan lain. Aku harus ke gereja.

"Yah, Tam..., aku mesti ke gereja." Jawabanku membuat Tama teringat bahwa aku seorang nasrani. Aku seorang katolik sedangkan Tama seorang buddha. Kami boleh berbeda, tapi kami bisa membuat pasangan kami bahagia.

Setelah beberapa lama berbincang, akhirnya es krim kami habis sehingga kami memutuskan untuk pulang. Tama mengantarku ke indekos atau yang biasa disebut kosan oleh masyarakat. Sesampainya di kos, kami berpisah secara mudah. Hanya lambaian tangan dan berjanji untuk berbincang di telpon nanti.

"Hati-hati ya, sayang. Makasih udah ke sini dan berbagi hari denganku. I love you." Pesan ini kukirim ke whatsapp Tama dengan harapan akan dibaca olehnya setelah sampai di rumah.

"Aku udah sampai ya! Kamu istirahat nanti kita chat, oke?" Aku mengiyakan pesan yang disampaikan oleh Tama. Setiap ketikan dan memori yang kami tukar membuat diriku merasa aman dan nyaman. Aku selalu berharap hal ini akan terus berjalan. Selamanya. Berbahagia bersamanya, hingga takdir yang memisahkan. 

Di Sebrang JurangWhere stories live. Discover now