Bab VI: Sendu

13 0 0
                                    

Hujan turun merintik dan menderas.

Langit sendu, sesendu aku.

Mengenang segala yang boleh dikenang

Menangisi semua yang harus dibuang.

Hujan menemani tangis, membasahi luka dalam dada yang kian menjerit.

Mendorong dan menyiksa, menyudutkan dan menyalahkan, diriku sendiri.

Tiga minggu telah berlalu. Hari-hari baru telah dimulai. Status lama kembali kusandang. Aku baru saja tersadar dan tidak menyangka akan memimpikannya setelah sekian lama. Ya, aku memimpikan Tama. Di sana, aku meminta maaf atas kekurangan dan salahku, Tama menerima maafku lalu lanjut berkata bahwa dia sudah ada yang punya. Tak kusangka, di mimpi pun kamu bukan jodohku, Tam.

Aku terdiam sejenak dan melihat kelangit kamarku. Aku mencoba mencerna segala kejadian yang terjadi belakangan ini. Aku mencoba menerima semua kesedihan dan kekecewaan yang kurasakan setelah tiga minggu. Aku hanya manusia. Aku tidak bisa secepat itu melepaskan.

Aku mendudukan diri di tempat tidur kemudian mulai mempersiapkan diri untuk pergi ke kantor. Pertama aku menggosok gigiku dan kemudian mencuci mukaku. Aku lantas mandi dan mempersiapkan sarapan. Sudah tiga minggu aku tak berselera makan. Akhirnya aku hanya membuat toast ditambah secangkir teh kamomil. Aku menggigit roti panggangku sambil melamun. Menyesap teh kamomil sambil terus merefleksikan diri. Tanpa sadar sudah waktunya untuk aku berangkat. Aku menuju ke lantai parkir mobil dan masuk ke dalam mobilku. Aku menyalakan mesin kendaraan dan menyalakan radio. Aku memasang lagu dari playlist berjudul 'Mine' milikku, secara acak lagu Accourve yang berjudul 'The night we parted' memenuhi mobilku. Memang lagu ini berbahasa korea tetapi ada liriknya yang membuatku merasa terhubung.

"Tidak ada yang salah denganmu. Malam itu kita bertemu seperti biasanya. Aku membawa bunga mawar, mengunggumu di depan rumah. Aku sudah membayangkan segala yang indah tentang kita. Saat kau membuka pintu, kamu malah mengatakan putus. Sekarang tiap malam kita sudah tidak dapat menelpon, meski begitu kamu baik-baik saja. Cintamu selesai sampai disini, tapi cintaku masih sama seperti dahulu." Mendengar lagu itu membuat sesak di dada kembali terasa. Ya, Tama pasti sudah baik-baik saja sekarang.

Perjalanan ke kantor tidak ramai seperti yang biasanya terjadi. Sesampainya di kantor, aku segera menggunakan riasan wajah untuk menutupi wajah pucatku. Sembari merias wajah, aku teringat akan buku diary spesial yang kumiliki sejak SMP. Hanya momen paling sedih atau paling bahagia yang akan kutulis disitu. Aku ingat menaruhnya di laci kantor. Aku menaruhnya di kantor sebagai hiburang ketika lelah menemani. Aku merogoh laci mejaku dan menemukannya di sana.

Aku menyelesaikan riasanku dan berniat untuk menulis beberapa paragraf disana. Segala kesedihan dan kekecewaan kutuang di dalamnya. Kuharap itu bisa melegakan diriku yang tenggelam dalam kesedihan selama tiga minggu belakangan.

Kalau kutau akan berakhir sesakit ini, aku akan ragu untuk memulai. Aku akan mendengarkan kata hati yang terus menolak. Aku tak akan mendengarkan sang pikiran yang bodoh tertutup oleh kemanisan busukmu. Aku tak akan membayangkan akhir bahagia yang ternyata hanya berisi kepahitan.

Perjalanan kita memang bergejolak, perjalanan kita penuh cerita. Aku pernah berjuang sekuat tenaga. Meski kini tak bersama, aku berusaha untuk tetap kuat, sekuat pertama kita bertemu, sekuat aku setuju bersamamu.

Kelegaan yang kurasakan membuat diriku kecanduan. Aku akan menulis untuk beberapa saat. Aku harus menjalani hari seperti biasa. Aku harus menutupi segala kesedihan dan tetap menjadi Putri yang ceria. Aku tidak akan membiarkan siapa pun tahu bahwa aku sedang berduka.

Di Sebrang JurangWhere stories live. Discover now