Kalimat

2 0 0
                                    

Aku duduk di sudut kamarku sambil menatap langit-langit kosong di atasku. Lagu Back to December mengalun samar dari ponsel yang kugeletakkan begitu saja di atas kasur. Kepalaku masih berdengung. Imajiku memutar-mutar kembali kejadian di rumah sakit kemarin malam. Pelan tapi pasti, air mataku mulai turun lagi.

Aku masih tidak percaya. Pikiran gilaku mengatakan kalau bisa jadi ini cuma prank.

Yah, nampaknya aku benar-benar gila.

Aku masih saja menimbang banyak hal untuk memutuskan hubungan dengannya. Padahal kurang apa lagi? Dia sudah menggadaikan setianya. Parahnya lagi, dia melakukan itu dengan laki-laki? Apa memang stok perempuan sudah habis sampai-sampai dia harus menyelingkuhi ku dengan laki-laki?

Aku menggeram pelan sambil menjambak rambutku. Membiarkan aliran rasa sakit melawan dengung yang terus-terusan berkelebat di dalam kepalaku. Namun nihil. Dengungnya malah semakin keras. Apa aku harus membenturkan kepala ke tembok dulu baru aku bisa tenang?

Saat aku sedang sibuk mencari cara untuk menyakiti diriku, terdengar suara ketukan dari pintu kamar. Ibu membuka pintu dan melongok ke dalam sebelum memutuskan untuk masuk.

Sejak sarapan yang cuma sanggup kuhabiskan sesuap, aku duduk di sudut ini. Ibu langsung menghampiri dan memelukku. Aku kaku dalam pelukannya. Tangisku meledak begitu ibu mengusap punggungku. Aku sakit. Sakit sekali. Tapi mana aku tega meninggalkannya begitu saja sendirian. Dia cuma punya aku, meski mungkin dia juga punya si brengsek Toni.

Secara tiba-tiba, pikiranku melayang ke hari beberapa bulan lalu, ketika Andreas marah ketika aku menyebutkan nama Toni. Katanya, ia sudah tidak mau berteman dengannya lagi.

Arrgghh gila, aku jadi semakin bingung.

"Ibu tahu itu berat, tapi kalau kamu memang mau mengakhiri pertunanganmu dengan Andreas, kamu harus lakukan dengan benar. Jangan tiba-tiba pergi tanpa ada kabar dan kepastian." Sambil mengusap punggungku ibu mengatakannya.

Aku memang harus berani menghadapinya sekali lagi.

Kurapikan tasku dan bersiap untuk berangkat lagi ke rumah sakit. Aku tahu aku terluka. Tapi aku juga pengin tahu apa yang dipikirkannya sampai dia benar-benar setega itu sama aku.

Aku berjalan gontai seraya pamit ke ibu. Ibu membelai kepalaku dan menepuk kedua bahuku. Senyumannya mengalirkan kekuatan yang tak kupahami. Sentuhannya memberiku keyakinan kalau aku tidak sendirian. Aku mencoba mengangkat kedua sudut bibirku dan tersenyum.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku banyak bengong. Beruntung aku sampai dengan selamat di rumah sakit meski berkendara seperti orang linglung.

Aroma rumah sakit langsung menyeruak memenuhi rongga hidungku. Banyak orang lalu lalang di lorong bangsal. Wajar. Ini sudah jam besuk. Selain penuh dengan orang-orang yang datang membesuk, lorong menuju tempat Andreas dirawat juga penuh lalu lalang dokter yang hendak visit pagi.

Aku masuk ke ruangan tempat Andreas dirawat ketika dokter selesai berbincang dengannya. Mataku bertatapan dengan mata Andreas. Seorang perawat menyapaku, dengan kikuk aku menghampiri dokter dan perawatnya sambil duduk di sisi tempat tidur Andreas.

"Saya tinggal dulu ya, Mbak. Kalau ada apa-apa langsung hubungi perawat," ujar dokter dengan wajah kebapakan yang terlihat meneduhkan. Aku mengangguk seraya mengalaminya.

Aku sempat mengantar dokter dan perawat keluar ruangan sebelum akhirnya kembali ke sisi tempat tidur Andreas.

"Kamu kembali?" tanyanya sambil menatapku.

Aku mencoba menghindari tatapannya dan melangkah menjauh, namun urung. Tangan Andreas meraihku. Air mataku menggenang, hampir terjatuh.

Aku berbalik menatapnya. "Sejak kapan?"

"Aku baru tahu dua minggu lalu ...." Dia berhenti. "Tapi peristiwa itu terjadi, tepat tiga bulan lalu waktu tugas di Bali." Andreas menutup matanya rapat. Raut wajahnya menampakkan kengerian yang ia coba pendam. Apa aku keterlaluan? Menanyakan hal-hal yang ingin ia pendam dan kubur habis-habisan.

Ia melanjutkan ceritanya dengan ekspresi ketakutan. Dari sorot matanya, aku tahu kalau dia begitu terpukul. Seperti ada sesuatu yang menyeretnya kedalam sebuah jurang kehancuran. Aku geram. Genggaman tanganku mengerat ketika Andreas menceritakan betapa terkutuknya apa yang dilakukan Toni. Rasanya, aku ingin menghajar wajah orang itu sampai tidak berbentuk lagi.

"Masa depanku sudah hancur. Kamu sama aku, enggak akan bisa lanjut lagi. Kita lanjut pun, enggak ada harapan," ucapnya sambil menahan air mata.

Aku hanya diam. Masih mencerna segala sesuatu yang terjadi dua puluh empat jam ke belakang. Rasanya seperti sebuah batu besar menggelinding dari sebuah lereng, yang pada akhirnya akan menindihku.

"Lalu, dia gimana?" Mungkin ini pertanyaan retoris paling bodoh. Ngapain juga kutanyakan soal orang yang sudah merusak tunanganku.

"Dia mati seminggu yang lalu. Ditembak oleh orang tak dikenal."

Aku cuma menelan ludah. Empatiku sudah habis untuknya. Malah aku akan lebih senang kalau dia dilemparkan ke kandang buaya, dan mati dicabik-cabik oleh buaya-buaya yang kelaparan.

"A-aku, enggak akan pergi." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.

"Kamu gila apa? Penyakitku enggak bisa disembuhkan," katanya frustasi.

"Aku enggak bilang tetap melanjutkan hubungan kita. Aku cuma bilang enggak akan pergi." Aku menghela napas. "Aku tahu kamu sendirian, makanya aku enggak mau ninggalin kamu. Aku tahu, terjebak sama kamu di hubungan tanpa masa depan itu kegilaan. Tapi aku enggak mau ninggalin kamu sendirian."

Aku benar-benar gila. Bukankah akan lebih mudah kalau aku pergi saja?

Andreas mengembuskan napas berat, "kamu pikir mudah ada di posisiku? Kamu pikir aku enggak ngerasa bersalah mengurungmu di sini tanpa masa depan. Kamu mau tahu alasan aku mau mati? Aku enggak mau jadi beban buat kamu. Kamu punya masa depan yang indah, kamu masih bisa melanjutkan hidup tanpa harus terikat sama aku yang sudah enggak punya masa depan."

Aku tersentak. Apa segitunya aku jadi beban buat dia? Sampai-sampai dia lebih memilih mati?

"Aku enggak peduli, aku cuma pengin kamu punya semangat menjalani hidup di sisa usia kamu. Lagipula, bukan berarti kamu enggak bisa sembuh, otomatis kamu akan mati cepat, kan?" Suaraku naik satu oktaf. Aku emosi.

Kami sama-sama diam setelahnya. Sama-sama sibuk dengan pikiran kami sendiri.

"Harusnya kamu paham, ada di posisi aku itu enggak enak. Aku enggak mau jadi penghambat masa depan kamu. Aku enggak mau kamu terjebak sama aku," gumamnya.

"Tapi, aku enggak bisa menahan kamu kalau kamu memang mau tinggal. Aku sudah memperingatkan kamu," sambungnya lagi.

Aku tersenyum duduk di sampingnya. Aku tahu ini gila. Tapi aku tahu, aku enggak mau kehilangan pasangan sekaligus teman. Kalau memang aku enggak bisa bersama sebagai pasangan, bukan berarti kami enggak bisa bersama sebagai teman, kan?

Our Souls Are TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang