Kata

2 0 0
                                    

Sudah dua malam aku menungguinya di rumah sakit. Di ruangan yang luasnya lebih luas dari kamar tidurku sendiri, ruangan dengan dominasi warna putih dan aksen toska, dengan satu tempat tidur pasien dan ruang tamu dengan sofa yang sangat nyaman.

Beberapa orang teman sudah memintaku untuk pulang saja, tapi aku nggak mau dia sendirian. Gimana kalau dia butuh bantuan? Lagipula dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, wajar kan kalau aku menemaninya?

Aku menggenggam tangannya, meletakkannya di pipiku seraya memandangnya. Sesekali terdengar suara dengkuran kecil yang membuatku sadar kalau dia tidur begitu nyenyak. Tunanganku sangat pucat. Padahal tiga hari lalu, ia kelihatan baik-baik saja. Dia terlihat bahagia dan ... Sempurna.

Tapi keesokan harinya, berbekal kunci duplikat rumahnya yang kumiliki, aku menemukan dia tak sadarkan diri di kamarnya. Sebuah botol obat tidur tergeletak kosong disebelahnya. Kuguncang-guncangkan tubuh besarnya, ia tetap tak bergeming. Aku meraba leher sebelah kanannya, mencoba mencari nadi karotis. Lemah.

Dalam kepanikanku, aku bersyukur masih punya cukup otak dan kewarasan untuk langsung menelpon layanan ambulans. Sambil menangis aku menjelaskan apa yang terjadi di tempatnya.

Seorang perawat mengetuk pintu dan masuk untuk mengecek kondisinya.

"Gimana kabar pak Andreas, Bu? Sudah mau bicara, kah?" Tanya perawat itu ramah. Ia mengecek infus dan mencatat sesuatu di laporannya.

"Belum, Sus. Dia masih diam saja sejak sadar kemarin," jawabku lunglai. Aku kehabisan cara untuk memintanya bicara tentang apa yang terjadi.

"Apa perlu buat janji dengan psikolog, Bu? Biasanya orang yang habis mengalami percobaan bunuh diri, merasa lebih nyaman setelah memiliki sesi dengan psikolog," ujarnya memberi saran. Saran yang masuk akal.

"Apa enggak apa-apa, Sus? Dia saja enggak mau ngomong apapun, padahal saya tunangannya. Gimana sama orang lain yang bukan siapa-siapa?" ujarku.

"Mohon maaf sebelumnya, Bu. Kadang ada kondisi di mana orang memang tidak bisa menceritakan apa yang ia alami pada orang terdekatnya sekalipun. Dan tidak menutup kemungkinan kalau mungkin pak Andreas termasuk salah satunya. Siapa tahu dengan bicara pada psikolog, kita mampu menemukan titik masalah yang menjadi alasan pak Andreas melakukan percobaan bunuh diri." Suster cantik bermata besar itu membujukku.

Aku terdiam, menimbang segala kemungkinan yang mungkin terjadi pada Andreas. Apa mungkin penyebabnya adalah aku?

"Ibu nggak usah khawatir, kalau memang ibu merasa butuh memikirkannya dulu, tidak masalah. Kalau ibu setuju, nanti ketika dokter visit, sekalian diinformasikan saja," ucapnya diplomatis.

Aku mengangguk. Suster itu segera pamit setelah menyampaikan hal-hal tadi.

Aku kembali menatap Andreas sambil menggenggam tangannya. Tangan besarnya terasa hangat. Andreas terlihat tenang dalam tidurnya. Dengkurannya tidak lagi terdengar. Tanpa kusadari air mataku menetes. Membayangkan betapa sakitnya berada di posisinya.

"Kenapa kamu ambil keputusan bodoh seperti itu?" gumamku.

Andreas membuka matanya. Ia menatapku nanar. Ada kesedihan yang kurasakan dari tatapannya. Ada sakit yang tak terperi begitu dia menghindari kontak mata denganku.

Aku tidak memindahkan mataku dari wajahnya.

"Kenapa kamu ngelihatin aku segitunya? Ada yang salah?" tanyanya.

"Kamu kenapa?" tanyaku tanpa menghiraukan pertanyaannya.

"Kenapa pertanyaanku dijawab dengan pertanyaan lagi?" Andreas terlihat kesal.

Aku menghela napas. Aku nggak ngerti harus gimana. Mungkin memang lebih baik kalau Andreas bertemu psikolog. 

"Tadi suster bilang, apa mungkin kamu butuh psikolog?" tanyaku. Kali ini aku berpindah ke sisi lain tempat dia mengarahkan pandangannya.

"Kenapa harus? Aku nggak gila," sanggahnya sambil berputar ke arah lain.

"Kamu butuh. Kamu nggak bisa nyimpan semua beban kamu sendirian kayak gitu. Kalau kamu belum mau membagi semuanya ke aku, enggak apa-apa. Aku bisa terima. Tapi jangan pernah sakiti diri kamu lagi seperti ini. Jangan pernah berpikiran untuk mati." Aku menangis di sisi tempat tidurnya. Ia berbalik menatapku nanar.

Dari tatapannya aku merasakan rasa sakit yang begitu dalam. Ada sebuah hal besar yang ia rahasiakan.

Tangannya menyentuh wajahku dan menggosok pipiku lembut. Aku masih merasakan cinta yang begitu besar darinya.

Tapi mengapa sulit sekali untuk terbuka?

"Kita nggak bisa lanjut, aku enggak mau menjebak kamu dalam kehidupanku yang sudah rusak," ucapnya.

Aku terbelalak. Apa maksudnya? Dia terlihat baik-baik saja kok sebelum melakukan percobaan bunuh diri.

"Kamu kenapa? Kalau ada masalah, bilang, biar kita selesaikan sama-sama," ujarku sambil menangis. Aku nggak suka disepelekan begitu olehnya.

Ia menggeleng dan memejamkan matanya rapat-rapat. Sekali lagi, ia mencoba mengatur napasnya.

Aku masih memandanginya dengan penuh tanya.

"Aku positif HIV," ucapnya singkat.

Kata-katanya barusan membuatku merasa seperti ada sebuah truk menabrakkan diri ke arahku dengan kecepatan tinggi. Aku jatuh terduduk di sisi tempat tidurnya, masih memandanginya tidak percaya. Dadaku sesak, napasku langsung tercekat begitu mendengarnya.

"El, maafin aku." Andreas juga menangis, sama sepertiku.

"Kok bisa?" ucapku gamang. Cuma kata-kata itu yang sanggup keluar dari mulutku. Sisanya kelu. Lidahku seperti tertahan sesuatu yang berat, yang menahan setiap kata yang akan keluar. Aku masih enggak percaya.

Dia masih terdiam. Mulutnya bergerak-gerak hendak mengatakan sesuatu, namun selalu tertutup rapat pada akhirnya.

Aku bangun dan pindah duduk di sofa. Terdiam dan sibuk dengan pikiranku sendiri.

Kok bisa? Setahuku, Andreas bukan pemakai narkoba. Bukan pula orang yang suka 'jajan'. Pergaulannya baik dan dia pun orang yang religius.

"Toni." Andreas menyebutkan nama seorang temannya. Teman akrabnya sejak kuliah dulu. Teman yang sering menemani Andreas, kala aku harus bertugas di kota lain.

"Maksudnya? Gimana kamu bisa ... " Aku menghentikan kata-kataku dan menarik napas sambil menutup mulutku. "Jangan bilang kamu ..."

Andreas menganggukkan kepalanya sambil matanya terpejam. Aku menangis sejadi-jadinya, tanpa memedulikan sekeliling. Dadaku terasa terbakar. Aku marah, tapi enggak tahu harus marah pada siapa.

"Sejak kapan?" Cuma kata-kata sependek itu yang meluncur dari mulutku selanjutnya.

Sambil terisak, Andreas mengatakan, "Dua Bulan."

Aku menahan napasku lagi kali ini. Tidak ada kata-kata yang bisa kuungkapkan lagi. Aku pengin mengutuk, tapi siapa yang harus kukutuk? Aku pengin mengumpat, siapa yang harus kuumpat?

Pada akhirnya aku cuma diam. Andreas pun diam. Kami sama-sama kehabisan kata. Aku teringat sebulan lalu ketika dia dan keluarganya melamarku. Saat itu, semuanya terasa sempurna. Andreas, laki-laki yang selalu kuinginkan untuk jadi pasangan hidupku, benar-benar melamarku untuk menikah dengannya.

Malam itu, aku tidak tidur. Andreas sudah terlelap beberapa jam yang lalu. Aku tahu ini tidak hanya berat untukku. Tapi, aku bisa apa?

Aku merapikan barang-barangku dan langsung keluar dari ruang rawat Andreas. Aku butuh pulang, aku butuh menjauh untuk meredakan sakit kepala yang aku sendiri bingung obatnya.

Our Souls Are TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang