"Aku tidak mau," ucapnya tegas untuk sekian kalinya. Matanya menyorot tajam pria tak tahu diri di hadapannya.
"Kenapa? Bukankah kamu mencintaiku, dulu?"
Desisan lirih terdengar dari bibir Aira. "Itu sudah dulu. Dulu dan sekarang adalah sesuatu hal yang berbeda. Semua sudah berubah. Everyone has changed, Evan."
Evan tertawa meremehkan. Dia bahkan menatap Aira dengan berani bercampur geli. "Kamu berubah? Benarkah?" Evan mencondongkan tubuhnya pada Aira. Tawanya telah lesap. Sorot matanya berubah tajam dan penuh keseriusan. "Aku bahkan masih ingat betapa tergila-gilanya kamu padaku."
Tulang punggung Aira sontak membeku seperti baru saja diguyur air es. Pilinan jemari yang berada di pangkuannya basah, merembeskan keringat dingin. Benaknya kembali memutar ulang saat dirinya masih menjadi seorang pesakitan. Tak ayal, seluruh sendinya bagai ditusuk ribuan jarum yang menyakitkan. Sedikit lagi, kesakitan itu akan kembali pada dirinya yang telah sembuh. Memerangkapnya jauh dan lekat. Tak membiarkannya bangkit untuk mencecap bahagia yang ada di depan mata.
Aira menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia berusaha menetralisir detak yang terlanjur memacu cepat. Sebisa mungkin, dia menjejalkan berbagai sugesti positif untuk menghalau terjangan rasa sakit. Dua hal yang dia tancapkan benar dalam otak dan sanubarinya.
Dia tidak ingin kembali gila!
Dia tidak boleh gila!
"Kenapa diam? Aku benar bukan? Kamu sangat mencintaiku, Aira. Kamu menggilaiku. Aku tahu benar itu. Selama ini, kamu bahkan tidak bisa hidup tanpaku. Aku bagaikan napas yang tidak bisa kamu cabut paksa begitu saja. Jadi, apa salahnya kamu menerima tawaranku? Toh kita sama-sama diuntungkan."
"Untung?" cicit Aira lirih, tak mengerti dengan jalan pikiran Evan. Dia tak habis pikir.
Bagaimana mungkin ada orang yang lebih gila daripada orang gila?
Evan mengangguk dan tersenyum sangat manis seraya berujar, "Ya. Dengan kita menikah, kamu mendapatkanku, sedangkan aku bisa membuat istriku bahagia karena sudah mengabulkan permintaannya." Lagi-lagi senyum itu lenyap, berganti sorot tajam menakutkan. "Aku sangat mencintai istriku. Apa pun yang membuatnya bahagia, pasti akan aku lakukan. Tak peduli kamu mau atau tidak."
Aira menggeleng. "Tidak ada bahagia dari cinta yang terbagi, Evan. Istrimu tidak akan benar-benar bahagia sekalipun itu berawal dari permintaan konyol darinya. Tidak ada satu pun wanita yang mau berbagi cinta. Apalagi hidup bersama wanita lain suaminya dalam satu biduk rumah tangga. Itu omong kosong."
Evan mendecih sembari mengecimus. "Aku bilang aku mencintai istriku, bukan mencintai kamu."
Satu lagi pisau berhasil menancap tepat di jantung Aira. Jika hidup ini adalah sebuah game, Aira tidak tahu sudah berapa kali dia game over dalam permainan cintanya dengan Evan. Ya, pria itu masih sama seperti yang Aira ingat. Egois dan terlalu ambisius.
"Kalau begitu, sudah jelas, bukan? Kamu sudah menikah dengan wanita yang sangat kamu cintai. Dan aku pun sebentar lagi akan menikah dengan pria yang sudah pasti aku cintai." Aira menjeda ucapannya sejenak, meredakan dentuman dadanya yang sedang bergemuruh hebat. "Berhenti omong kosong hanya karena pertemuan kita yang tak sengaja. Perlu kamu tahu bahwa aku tak segila itu dalam mencintaimu dulu. Jika aku memang menggilaimu, mungkin sudah lama aku berusaha mengusik rumah tanggamu. Tapi tidak pernah aku lakukan, bukan? Itu artinya, kamu tak seberharga itu untukku, Evan."
Evan menaikkan sebelah alisnya yang tebal. "Benarkah?"
Aira tak berniat menjawab. Sudah cukup dirinya direndahkan, dihina, dan disia-siakan hanya karena cintanya yang terlalu. Sejak dirinya bangkit menjadi Aira yang baru, dia bukan pagi sosok yang begitu dibutakan cinta hingga sulit bernapas bila tak menggenggamnya. Dia akan tetap menjaga kewarasannya demi seseorang yang tak pernah alpa menunjukkan apa itu bahagia. Seseorang yang telah mengembalikan sinar kehidupan Aira yang sempat redup bertahun-tahun lamanya. Aira tak akan kalah. Tidak untuk yang kedua.
Evan mengusap dagunya yang berjambang halus. Bibirnya menipis seiring kerutan dahinya yang bertambah. "Kamu akan menikah dengannya?" Dia bergumam sejenak. "Bagaimana kalau aku menceritakan pada calon suamimu itu seberapa keras jeritan kenikmatanmu saat kita mencecap nirwana bersama pertama kali?" Sebuah seringai muncul menyambangi sudut-sudut bibir Evan.
"Aku bahkan masih ingat caramu meminta lagi dan lagi sejak merasakan sentuhan pertamaku. Aku yang pertama bagimu, bukan? Dan tidak ada yang bisa menandingi nikmatnya sentuhan pertamaku. Aku benar kan, Aira?"
Tbc
Hai! Hara bawa cerita baru lagi, nih.
Masih setia di RATE [21+]
Rencananya, cerita ini bakal Hara up rutin setelah cerita Mbak Kissy masuk konflik utama menjelang ending.
Sekarang, Hara kasih icip prolognya dulu.
Sila vote dan komen sebagai tanda antusiasme kalian menyongsong cerita baru ini. Siapa tahu kan Hara khilaf update perkara lihat kalian yang antusias? ^^
Mari bersenang-senang.
Happy reading! ^^
Big hug,
Vanilla Hara
06/12/19
KAMU SEDANG MEMBACA
TOO LATE TO FORGIVE YOU | ✔ | FIN
RomanceAira pernah terpuruk. Cintanya yang terlalu besar pada Evan pernah membuatnya gila ketika pria itu memilih meninggalkannya demi menikahi wanita lain. Dalam masa kelam itu, Aira tidak menemukan sebuh kewarasan selain mati untuk mengakhiri rasa sakit...