KEIRA
Kedua mataku seketika terbuka lebar ketika merasakan perutku yang mulai kontraksi di tengah tidur siang. Benjamin! Aku hampir saja ingin meneriakkan nama suamiku itu. Semalam dia mengatakan bahwa aku masih memiliki beberapa hari yang tersisa sebelum masa lahiran. Itulah mengapa siang ini Ben berangkat ke rumah sakit untuk bekerja. Bagaimana ini, rasa sakitnya benar-benar sudah tidak tertahankan.
Tanganku dengan cepat berusaha menggapai ponsel yang berada di atas nakas. Tapi saking tergesanya, bukan malah mendapatkan ponselku, benda itu malah terjatuh yang kemudian menciptakan suara cukup keras pada lantai kayu. Tak beberapa lama terdengar suara langkah kaki cepat mendekati kamar, disusul dengan suara pintu terbuka.
Kepalaku refleks menoleh, mendapati Kenzo datang. Ekspresi wajahnya terkejut menemukanku yang sedang menahan sakit. "Mom, are you okay?"
"No, Ken. Please ..., bring the phone for me." Aku berusaha menunjuk ponselku yang terjatuh di atas lantai padanya.
Kenzo yang mengerti maksudku segera menurut. Dia bergegas meraih ponsel itu, kemudian disodorkannya kembali padaku. Segera saja tanganku menekan speed dial nomor satu, nomor Ben. Tidak perlu menunggu lama, suara berat Ben terdengar di ujung sana.
"Ada apa, baby?"
"AKU AKAN MELAHIRKAN!" teriakku tanpa peduli bahwa Kenzo bisa saja terkejut mendengarkannya.
Rasanya aku ingin terisak menahan kontraksi yang mulai terasa terus menerus, nyaris tanpa jeda. Bagaimana kalau aku tiba-tiba pingsan, jika Ben belum juga datang untuk membawaku dan Kenzo ke rumah sakit? Atau bagaimana kalau saat Ben datang aku sudah melahirkan sendirian di rumah? Demi Tuhan, kenapa aku selalu berfikiran negatif terus menerus. Aku hanya terlalu panik sekarang.
"Sayang, tenanglah. Seharusnya lahiranmu masih beberapa hari lagi."
"BENJAMIN! Kau ke sini sekarang atau aku akan pergi sendiri ke rumah sakit!"
"Tapi ... Kei. Aku sedang –"
"Aku tidak peduli, Benjamin." Aku segera memotong penjelasannya. Ben benar-benar keterlaluan dan aku jadi tidak tahan untuk tidak terisak sekarang. "Sekarang pilihlah siapa yang ingin kau tolong, pasienmu atau istrimu!"
Ada jeda cukup lama setelahnya, seolah pilihan yang aku berikan terlalu sulit untuknya. Napasku mulai memendek, bahkan peluhku mulai bercucuran. Ben benar-benar menghabiskan stok kesabaranku. Ini benar-benar menyakitkan, Tuhan. Aku tahu dia adalah dokter yang sangat memegang teguh sumpahnya, tapi aku istrinya dan juga sedang membutuhkan perhatiannya.
"BENJAMIN!" Aku kembali meneriakkan namanya.
"I'll be there soon, baby. Wait for me."
Kemudian panggilan ditutupnya begitu saja. Tanganku dengan kesalnya melemparkan ponsel secara sembarangan ke atas tempat tidur. Nafasku tersengal, aku mencoba untuk menahan kontraksi ini.
Tapi ketika tidak mendengar suara Kenzo, kepalaku mulai menoleh untuk mencari keberadaan anakku. Pria kecilku itu masih berdiri mematung di tempatnya tadi. Dia menatapku khawatir, tapi tidak berusaha mendekat, mungkin dia merasa bahwa jika dia menyentuhku maka aku akan bertambah kesakitan.
Aku berusaha tersenyum sekarang untuk menunjukkan kepada Kenzo bahwa aku baik-baik saja. Tangankku bergerak pelan memintanya mendekat. Seperti biasanya, Kenzo mengangguk pelan kemudian berjalan mendekat untuk menduduki pinggir tempat tidur. Sangat hati-hati dia mendekatkan dirinya padaku.
"Everythings gonna be okay, Mom."
Aku mengangguk setuju sembari mencium keningnya sayang. "Ya, Sayang. Kita tunggu Daddy, lalu setelahnya kita ketemu sama adek ya. Segera."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIT HAPPENS [RE-PUBLISH]
ChickLit~ Keira Tan ~ Benjamin Orlando, begitu katanya setahun yang lalu. Ben adalah sahabat terbaik dari Calista, sahabatku. Laki-laki itu begitu tulus, begitu baik dan begitu mencintai Calista. Tapi sepertinya takdir tak pernah bisa membuat Ben mendapatk...