senja luka; 1

489 58 16
                                    

Selamat baca teman-teman :)

-oOo-

Rumah bak istana itu terasa suram. Lampu utama yang di matikan menambah kesan gelap menakutkan.

Namun, itu sama sekali tidak membuat keberanian milikku di kalahkan oleh rasa takut.

Karena bagiku, gelap adalah teman, ruang kosong itu membuatku tenang, dan bersamanya aku merasa nyaman.

Aku menghela napas ketika lonceng jam pertanda pergantian hari itu terdengar, seolah memantul keras agar semua mendegar.

Sebuah kue kecil dengan dua lilin, satu berbentuk angka satu dan lainnya berbentuk angka tujuh.

Korek api yang tergeletak segera melayang ketika tanganku mengambilnya.

Langsung saja, aku memberi api pada sumbu lilin sehingga remang kecil menjadi cahaya di kegelapan.

"Selamat ulang tahun Rere!" Ucapku pelan nyaris di sebut sebuah bisikan.

Aku memejamkan mata sejenak, menyebutkan beberapa permohonan yang entah kenapa terasa mustahil dipikirkan.

Tapi, aku tetap saja mengatakan, dan berharap Tuhan mengabulkan.

Hari ini ulang tahuku ke-17 dan lagi-lagi sendirian. Tapi, itu sama sekali bukan masalah besar karena aku sudah terbiasa.

Sangat terbiasa dengan kesendirian.

Setelah lilin itu padam, aku lantas berdiri membawa kue itu ke dapur, dan meletakkannya di lemari pendingin.

Tubuh kubawa melangkah, melupakan tentang perayaan yang selalu aku impikan. Perayaan yang sering aku dengar dari cerita orang-orang, yang dari sana aku bisa membayangkan betapa bahagianya mereka.

Untukku, perayaan tadi sudah cukup. Tidak ada kejutan, tidak ada orang-orang, dan tidak ada hal istimewa.

Iya, perayaan itu sudah cukup. Karena, di banding di sebut sebuah perayaan, ini lebih kepada sebuah penyiksaan.

Aku kembali ke kamar, berniat mengistirahatkan kepala dan fisikku yang melemah.

Ulang tahun kali ini, entah kenapa begitu melelahkan.

Ah, mungkin memang selalu melelahkan. Iya, selalu begitu.






-oOo-





"Selamat ulang tahun, non!"

Aku tersenyum simpul menanggapi, "Terimakasih, Bi!" Ucapku lalu mendekat padanya.

Ah, aku lupa bila di rumah ini aku tidak benar-benar sendirian. Masih ada Bibi Lia yang sudah sejak bayi merawatku.

Setiap hari ini tiba, hari ulang tahunku, maka Bibi Lia akan membuatkan sebuah kue yang semalam sudah kugunakan sebagai perayaan kecil sendirian.

Bibi Lia berulang kali berkata selalu ingin menemani setiap perayaan itu di laksanakan namun, jawabanku masih tetap sama, tidak.

Aku menginginkan hal lain. Aku menginginkan bukan Bibi Lia yang mengajukan hal itu. Aku ingin seseorang yang ku harapkan, dan itu bukan Bibi Lia.

Salah, kah, aku? Terserah bila aku dikata di beri hati tapi mau jantung, tapi itulah kenyataan, aku ingin yang lain yang menemani pada perayaan kecil itu.

"Hari ini, non  mau ke mana?" Tanya Bibi Lia.

Hari ini libur, dan aku bahagia karenanya. Setidaknya, dengan libur aku bisa mengasingkan diri. Setidaknya, tidak ada lagi pertanyaan mengerikan dari teman-teman perihal perayaan ulang tahun.

Pertanyaan itu memang kelewat sederhana, tapi tidak kah mereka tahu bahwa itu menyakitiku?

Pertanyaan seperti, "Mama kamu beliin kado apa?" Atau, "Ih, pas aku ultah Papa kasih kejutan, kamu juga kan, Re?"

Dan aku hanya bisa diam, seolah tidak mendegar karena aku memang tidak memiliki jawaban. Tepatnya, aku tidak mau mengatakan jawaban yang pasti tidak teman-temanku kira.

Menyebalkan memang!

"Belum ada rencana." Jawabku jujur, "Bibi masak apa hari ini?" Tanyaku mengalihkan.

Aku lalu duduk di salah satu kursi bar mini, menunggu Bibi Lia menyajikan sesuatu.

"Nasi goreng sosis kesukaan non Rere!" Bibi Lia meletakkan sepiring nasi goreng sosis, ada satu buah telur dadar juga selada yang terlihat mempercantik tampilan. "Susunya juga jangan lupa di minum!" Ah, Bibi Lia selalu begitu.

Segelas susu putih menemani sepiring nasi goreng juga segelas air putih yang entah kapan ada.

Bibi Lia bilang, "Non harus minum susu biar tinggi!" Itu yang ia katakan dulu, saat aku menolak untuk meminum susu.

Hal itu ia katakan ketika aku masih berusi sekitar lima tahunan, fisikku yang pendek aku jadi berbinar mendegar kata tinggi.

Ah, Bibi Lia, dia memang selalu perhatian. Sejak dulu.

"Non!" Bibi Lia berkata pelan lalu menatapku, aku balik menatap Bibi Lia. "Iya, Bi?"

"Non jangan sedih, hari ini harus jadi hari bahagia non."

"Bibi berdoa, Non Rere selalu bahagia, panjang umur, sehat selalu, dan... semoga apa yang non Rere inginkan segera Tuhan kabulkan!"

Aku mengaminkan ucapan Bibi Lia, meski aku tahu dari nadanya ada kesedihan mendalam.

Iya, Bibi Lia pasti tahu keinginanku setiap tahun selalu sama.

Keinginan yang sudah lama kuharapkan namun belum kunjung terwujud dan menjadi nyata.

Karena sepertinya, ingin itu tak akan pernah terwujud. Sampai kapan pun.

Bibirku tersenyum samar walau aku tahu sebenarnya itu lebih kepada senyuman miris, meratapi pahitnya takdir yang Tuhan berikan kepadaku.

Benar-benar miris.


-oOo-







1 Juni 2021
©anggitaskr_

Senja LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang