Power Bank

262 39 22
                                    

"Kapan kita pulang?"

Yohan sudah jengah, lelah. Tubuhnya sudah minta istirahat, tapi perkuliahan belum selesai juga. Sekarang pukul tujuh malam, idealnya ia sudah berada di dalam kamarnya. Namun, realita senang sekali mengkhianatinya.

Dari pukul tujuh ke pukul tujuh lagi, dari matahari yang benderang sampai bulan yang ambil bagian, Yohan tidak menginjakkan kaki ke luar area kampus. Ia bahkan harus merelakan uang jajannya lebih banyak karena makan di kantin kampus yang harganya lumayan mahal ketimbang tempat makan di luar kampus.

"Sabar, Han," sahut salah satu temannya. Hangyul, namanya. Sama seperti Yohan, wajahnya pun sudah menyiratkan rasa lelah, tetapi ia tidak sevokal Yohan ketika mengeluh.

Rasanya waktu berjalan begitu lambat, jarum jam dinding bergerak sangat pelan. Ia bahkan harus menepuk pipinya beberapa kali karena sungguh, kantuknya tidak tertahan. Matanya berat sekali, sampai setengah jam setelahnya, ia menyerah. Meminta teman sekelas yang duduk di depannya agar berdempetan hingga bisa menutupi tubuhnya yang kini menelungkup di atas meja.

"Han, Yohan. Bangun."

Tubuh yang ditepuk-tepuk pelan itu perlahan menggeliat dan bangun, duduk tegak. Wajah yang masih menampakkan kantuk diusap sambil mengembalikan kesadarannya secara penuh. Yohan menoleh ke arah Hangyul yang membangunkannya dan mendapati wajah kawannya yang begitu kuyu. Lalu pandangannya teralih ke depan, teman kelasnya sudah beranjak dari kursi masing-masing.

Oh, sudah selesai.

"Baru?" Yohan bertanya, mengeluarkan suara yang serak akibat tidurnya. Ia berdeham kemudian.

"Iya. Ayo pulang," ajak Hangyul.

Yohan menyambar ransel miliknya di lantai, menyampirkan sebelah tali ke bahu dan berjalan keluar kelas bersama Hangyul. "Butuh power bank," celetuknya sampai di pintu.

Hangyul paham, power bank yang dimaksud bukanlah power bank dalam artian sesungguhnya. "Mau ke sekre?" Tawarnya.

"Di sekre?"

Anggukan kepala dilanjutkan kalimat, "Sama Kak Seungyoun juga."

Selanjutnya, tanpa kata, mereka berdua sudah berjalan beriringan menuju ruang sekretariat BEM universitas. Mengganti tujuan dalam waktu yang singkat, tanpa ragu.

Dari kejauhan, Yohan dan Hangyul bisa lihat seseorang yang tengah menumpuk sampah di luar ruang sekretariat. Sepertinya para anggota baru saja makan. Merasa ada orang lain, akhirnya presensi mereka mendapat atensi juga.

"Eh, kok masih di kampus?"

Kalau ada tenaga, dua mahasiswa yang baru selesai kelas ini pasti akan menjawab secara verbal. Namun, kali ini senyum dan anggukan pelan yang menggantinya. Seakan paham, orang tadi masuk ke ruangan dan memanggil dua nama.

"Yuvin! Seungyoun! Ada tamu, nih."

Tak lama, muncul dua orang dari dalam ruang sekretariat. Yang satu agak terkejut, sementara yang lain dengan sigap merangkul bahu.

"Masuk aja? Di luar dingin," Seungyoun, berujar dengan lembut sambil menggiring langkah Hangyul memasuki ruangan. Meninggalkan Yohan dan Yuvin di luar.

"Yo? Baru selesai kelas? Kenapa nggak langsung pulang?"

Yohan berjalan mendekat, agak menyeret langkahnya. Lalu, bukannya menjawab, dia kembali berucap, "Butuh power bank."

"Emang sisa berapa persen?"

Dengan bibir yang maju, Yohan menunjukkan kelima jarinya sambil berkata, "Lima persen."

Kemudian kedua lengan dibuka lebar, "Sini," yang segera disambut dengan semangat. Kepala Yohan bersandar pada bahu Yuvin, wajahnya sekalian ia cerukkan pada leher, menghirup aroma tubuh orang yang dipeluk. Aneh, ini sudah malam, tapi Yuvin masih wangi, wangi yang menenangkan.

"Hmm, wangi."

Telapak tangan Yuvin terus bekerja, mengusap punggung Yohan dengan halus. Sesekali bibirnya membubuhkan kecupan pada sisi kepala kesayangannya, juga balas menghirup rambut Yohan yang menguarkan wangi segar buah.

"Kamu juga wangi," balas Yuvin.

Pelukan Yohan mengerat, mencari kehangatan yang lebih lagi. "Nggak. Aku bau," katanya setengah berbisik.

"Capek?" Yuvin bertanya, penuh afeksi. Ia tersenyum menahan geli karena surai milik Yohan menggelitik lehernya saat mengangguk menanggapi pertanyaan yang dia ajukan.

"Ada kelas pagi, jam tujuh. Aku tidur jam dua, begadang ngerjain tugas, ngedit power point, bangun jam lima nggak bisa tidur lagi. Jam sepuluh ada kelas sampai siang. Aku makan di kantin tadi, nggak keluar kampus. Habis makan, kerja kelompok di perpus sampai jam tiga. Jam setengah empat masuk kelas lagi. Pas mau pulang, ada dosen minta ganti jadwal jadi hari ini, jam setengah tujuh. Aku ngantuk, tadi sampai tidur di kelas."

Diam, Yuvin mendengarkan kalimat demi kalimat yang diutarakan Yohan. Tangannya tak berhenti mengusap punggung, sesekali juga menepuk-nepuknya ringan.

"Lepas dulu, ya? Liat aku coba."

"Nggak mau. Belum penuh." 

Sudut bibir Yuvin kembali tertarik, "Udah berapa persen, hm?"

"Baru duapuluh, Yuvin."

"Kurang banyak," gumam Yuvin. "Ya udah, nggak usah dilepas, tapi liatin aku dong?"

Yohan menghela nafas dan mengecup leher yang dipeluknya singkat, sebelum mengangkat wajahnya dan menatap Yuvin, sebagaimana permintaan laki-laki itu. Kedua tangannya masih melingkar di pinggang, begitu pula sepasang lengan yang melingkupi punggungnya.

"Yo," sebelah tangan Yuvin naik, merambat dan bertengger di sisi wajah Yohan. Dia tersenyum, jari-jarinya dengan jahil mencubit kecil pipi Yohan beberapa kali, lalu mengusapnya. "Makasih, ya? Hari ini kamu udah kerja keras. Ngerjain tugas, dengerin materi dari dosen, mungkin diskusi di kelas, sampai nahan ngantuk juga. Nggak apa-apa ngeluh, luapin aja. Ke aku, ke temen-temenmu, ke ayah, ke ibu, ke siapapun. Makasih udah kuat, nggak nyerah gitu aja karena jadwal kuliah padat sementara tugas numpuk. You've really work hard."

Yohan tersenyum. Ucapan terima kasih itu membuat hatinya menghangat. Dikecupnya pipi Yuvin, "Makasih kembali. Kamu juga pasti capek, tapi masih mau dengerin ocehanku, nanggepin sebegini baiknya. Makasih udah mau jadi power bank-ku, jadi pendengarku, jadi tumpuanku, tahan sama aku. You've really work hard, too."

Tubuh Yohan ditarik, kembali ke posisi semula. "Capek, kan? Yuk, pulang. Besok ada kelas juga kamu," ujarnya.

Suara rengekan terdengar, "Yuvin, belum penuh!"

"Iya, nanti dilanjut di rumah aja."

"Mau ke rumah?"

"Iya, ke rumah. Makanya lepas, biar aku bisa beresin barangku."

Kemudian pelukan itu terlepas begitu saja. Yohan menatap Yuvin tak sabar, "Cepet, cepet. Sana beresin," suruhnya sembari mendorong tubuh bongsor milik Yuvin.

"Eh, eh, tunggu. Ada yang ketinggalan," kata Yuvin.

"Apa?"

"Ini," kecupan di bibir. Hanya sekian detik, karena Yuvin segera berlari ke ruang sekretariat, menghindari amukan Yohan.

Yang tidak sesuai ekspektasinya, Yohan malah mati-matian menahan bibirnya agar tidak melengkungkan senyum. Rasanya sudah kembali penuh, seratus persen. Tapi, jangan bilang Yuvin,

karena Yohan masih ingin dipeluk.

YOUniverse [YuYo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang