Missing You

182 24 0
                                    

19 Juli 2019.

Malam itu Yuvin betul-betul pasrah dengan takdirnya. Dia sadar bahwa menjadi sosok X, apalagi berada di sepuluh besar sangatlah tidak memungkinkan. Melihat peringkatnya yang tiap pengumuman peringkat justru semakin merosot, bukan sebaliknya. Maka, ketika namanya tak terpanggil, hanya senyuman yang dapat ia pertontonkan.

Pikirnya, sampai titik ini, sampai duapuluh besar pun sudah jadi pencapaian yang sangat bagus. Setidaknya ia bisa menunjukkan penampilan terbaiknya pada orang-orang yang mendukungnya. Setidaknya ia sudah berusaha keras dan berlatih giat untuk setiap panggung.

Waktu yang dilaluinya benar-benar berharga. Selama beberapa bulan itu, ia mendapatkan pelajaran tentang hidup, tentang perjuangan, tentang segala hal yang belum ia ketahui. Juga mengenal orang-orang hebat yang baru ditemuinya di kesempatan itu.

Malam itu, pelukan pertamanya ia berikan pada sosok yang berhasil duduk di kursi tertinggi. Yohan. Bahunya ia biarkan jadi sandaran sementara bibir dan tangannya sibuk menenangkan. Tangisan milik Yohan terasa begitu menyakitkan. Kalimat-kalimat yang ia keluarkan tak cukup ampuh untuk meredakan tangisan itu.

'Ayo bertemu di tim debut.' Katanya.

'Kita harus debut.' Katanya.

Namun tak ada satupun yang terwujud. Ia akan kembali jadi Song Yuvin, bagian grup Myteen, sementara Kim Yohan akan memulai kehidupannya sebagai seorang idol, sebagai pusat dari X1.

Sampai pada akhirnya Myteen dilikuidasi, beberapa hari setelah dua tahun debutnya grup itu. Sampai ia dan Kookheon mengeluarkan single. Bahkan sampai X1 diterpa berbagai masalah, hubungan mereka tetap sama. Tidak merenggang sama sekali. Mereka masih kerap berhubungan lewat panggilan telepon. Seperti sekarang.

"Kenapa tidak mau panggilan video? Tidak mau lihat wajahku?" Yuvin berujar jenaka. Tubuhnya bersandar nyaman pada sandaran sofa, sementara pandangannya mengedar ke segala arah. Gawai sebagai sarana komunikasi ia tempelkan di telinga.

"Hyung kan yang ingin lihat wajahku?"

Sahutan yang diberikan membuatnya terkekeh. Ya, sebenarnya tidak salah juga, tetapi seorang Song Yuvin tak akan berkata jujur perihal ini.

"Tidak juga," jawabnya penuh kepalsuan. Tentu saja ia ingin lihat wajah Yohan. Ingin lihat setiap ekspresi yang dibuat oleh yang lebih muda. Mungkin juga tawanya, atau rengutannya.

"Iya, iya. Aku, kan tidak tampan, makanya tidak mau lihat wajahku."

Lagi-lagi tawa menyebalkan keluar dari bibir Yuvin. Apa kali ini ia harus jujur, ya?

"Yohan-ie sangat tampan, kok. Ubah jadi panggilan video saja, ayo?" Bujuknya lembut.

Kalah. Yuvin kalah dengan rasa rindunya. Meski masih sering mengontak satu sama lain, tapi baginya itu tak cukup. Ia ingin bertemu, tapi sulit. Hanya ketika mereka berada dalam satu acara lah, ia bisa puas melihat dan menyentuh Yohan secara nyata.

"Tidak."

Helaan napas pergi begitu saja. Jujur, selain rindu, dia juga khawatir. Pemberitaan X1 di media semakin tidak menguntungkan grup yang belum lama debut itu. Ia takut teman-temannya tertekan disana, terbebani dengan ketikan pedas dari orang-orang yang tak suka dengan mereka.

"Kenapa tidak? Memang kau habis menangis?"

Lalu hening. Yuvin khawatir kalau ucapannya memang betul karena diamnya Yohan kali ini. Ia hendak menyuarakan sesuatu, tapi sosok di seberang sana lebih cepat.

"Kapan aku pernah menangis?"

Ujung bibir Yuvin tertarik, "Memangnya tidak pernah? Lalu siapa yang menangis sambil memelukku di malam pengumuman final, ya? Sepertinya aku mimpi?"

"Yuvin-hyung menyebalkan!"

Rajukan itu membuat tawa Yuvin lepas lagi. Jika saja Yohan ada di dekatnya, pasti badannya sudah ia remukkan dengan pelukan.

"Yohan."

"Hm?"

"Aku rindu."

Yuvin bisa dengar kalau Yohan sedikit tersedak sebelum tertawa keras. Bibirnya ia lengkungkan membuat senyum. Di sela-sela alunan tawa Yohan, satu kalimat yang diutarakan membuat lengkungkan bibirnya semakin lebar.

"Iya, aku juga rindu."

Kalau bisa, sudah sejak hari kemarin, bahkan minggu kemarin ia datang pada Yohan, menemui lelaki itu guna melepas rindu. Sayangnya ia hanya bisa berandai, karena realitanya tidak semudah itu.

"Kenapa tertawa?"

"Kau lucu, Hyung."

"Apa itu pujian?"

Tawa kecil kembali terdengar dari seberang sambungan telepon. Yuvin bisa bersyukur sedikit, karena berhasil membuat lelaki yang jadi pusat grup itu tertawa. Ia khawatir jujur, kalau-kalau Yohan terlalu memikirkan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Tentang bagaimana orang-orang memandang grup mereka, tentang bagaimana kelanjutan karir mereka.

"Yohan-ie."

"Iya?"

"Jika kau butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahmu, ingat aku. Jangan ragu untuk membagikan semua perasaanmu. Kalau kau sedang senang, ceritakan padaku. Kalau kau sedang marah, luapkan padaku. Kalau kau sedang sedih, bilang padaku. Aku akan dengar semuanya, akan lebih baik lagi kalau aku bisa ada di sisimu. Jangan simpan semuanya sendiri. Kalau kau rasa aku bukan orang yang tepat untuk itu, maka ceritakanlah pada keluargamu atau mungkin anggota lain. Kalian bisa saling bersandar satu sama lain, menguatkan satu sama lain. Jika tidak ada seorangpun yang bisa kau percayai, maka tuangkan saja apa yang kau rasakan pada tulisan. Jangan memendamnya sendiri. Oke?"

Selesai bicara, hanya hening yang didapat oleh Yuvin. Ia sempat bingung, apa Yohan tertidur setelah dengar ocehannya yang panjang itu?

"Yuvin-hyung..."

Helaan napas dari Yuvin menandakan kelegaannya, Yohan masih disana. "Iya, Yohan-ah?" Sahutnya.

"Kau menyebalkan. Aku ingin memelukmu."

Senyum lebar terulas tanpa bisa ditahan oleh Yuvin. Masih menggemaskan, Yohan tetap menggemaskan meski mereka tak dapat bertemu. "Oh, kupikir hanya aku saja?"

Yohan terdengar terkekeh di ujung sana. Ia mengambil napas, mungkin hendak bicara panjang sepertinya. "Yuvin-hyung, terima kasih. Aku tidak tahu kalau kau sebaik ini? Bercanda. Hyung, terima kasih sudah memikirkanku sebegitunya. Aku juga ingin brrcerita banyak hal padamu, tapi aku tak mau kau terganggu atau bahkan ikut kepikiran. Tapi, setelah mendengarmu tadi, aku akan bercerita banyak hal mulai dari sekarang. Kau juga harus menceritakan segala perasaanmu padaku, aku akan mendengarkannya. Oke?"

Senyum masih setia bertengger di wajah Yuvin, kini bahkan berubah jadi lebih lembut. "Baik, kita akan saling cerita mulai sekarang, ya," ujarnya. Dikerlingkan matanya, melihat angka yang ditunjuk oleh jarum jam. "Yohan-ah, sudah larut sekali. Apa kau sudah mengantuk?" Tanyanya.

"Sebenarnya aku belum mengantuk, tapi besok aku akan pergi dengan Hangyul."

"Kalau begitu sebaiknya kau tidur sekarang. Kalau tidak lelah, kau bisa ceritakan bagaimana harimu esok."

"Uhm, okay. Aku akan tidur."

"Bagus. Selamat malam, Yohan-ah. Tidur yang nyenyak."

"Hm, selamat malam. Yuvin-hyung?"

"Ya?"

"Aku menyayangimu."

Lalu sambungan telepon terputus. Yuvin menatap layar gawainya yang sudah menunjukkan layar rumah. Kepalanya menggeleng akibat tingkah Yohan barusan.

"Dasar, kau bahkan tidak membiarkanku membalas ucapanmu, hm?"

Direnggangkan otot-otot tubuhnya, lelah juga duduk di sofa berjam-jam. Ia bangkit dari duduknya, hendak pergi menuju kamar. Ia akan tidur nyenyak malam ini, pasti.

"Aku juga menyayangimu, Kim Yohan."

YOUniverse [YuYo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang