// SOAU - 5 //

21 2 0
                                    

"Nih." Ucapku sambil menyerahkan buku tebal bercover merah kepada Devan. Ia memasukkan buku tersebut ke dalam tasnya, dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu padaku.
"Makasih yang. Btw itu apa'an?" Ia menunjuk kantong plastik putih di bawah mejaku.
"Bukunya Pak Ardan." Ucapku cuek, sambil memasukkan uang dari Devan ke dompet.
"Bentar bentar bentar. Bukunya Pak Ardan? Kok bisa di kamu?" Dia menautkan alisnya, ekspresi wajahnya seakan menuntut sebuah penjelasan. Aku menghela nafas.
"Jadi gini.." Aku menceritakan kejadian semalam. Mulai dari Pak Ardan yang tiba-tiba sudah berada di sampingku, hingga insiden buku yang sengaja ia tinggal, sedetail mungkin.
"Wah udah ngga bener nih. Nanti kembaliin aja yuk?" Ia membuka kantong plastik tersebut, melihat satu-persatu buku didalamnya. Aku hanya mengangguk. Tak berapa lama kemudian, Pak Sigit datang. Periode mata kuliahpun dimulai.

"Kira-kira ini jumlah harganya berapa ya?"
"Tadi malem aku udah searching sih, kisaran sejutaanlah total." Ucapku. Devan menghentikan langkahnya. Ia memandangiku lama. "Makanya aku kaget kok bisa beliau ngasih buku-buku ini ke aku."
"Beneran udah ngga bener nih." Ucap Devan jengkel.
Sesampainya di depan ruang dosen, kami menanyakan kepada admin jurusan tentang ada atau tidaknya Pak Ardan hari ini.
"Waduh sepertinya Pak Ardan tidak ke kampus hari ini. Ada urusan. Ada apa memangnya?" Ucap Bu Lita, admin jurusan.
"Ini bu, jadi ceritanya semalem temen saya ini ketemu Pak Ardan di toko buku, nah ini buku-buku yg dibeli Pak Ardan ketinggalan di parkiran. Ini rencananya kita mau mengembalikan, gitu. Apa kalau boleh, kami titipkan saja ke ibu?" Perjelas Devan. Ia benar-benar pintar mengarang cerita.
"Oh begitu. Iya tidak apa-apa, nanti tolong kamu tulis di kertas, kecil saja, nama kamu, dan dari kelas apa. Saya orangnya pelupa soalnya." Bu Lita terkekeh, kami juga ikut terkekeh. Aku menulis nama Devan, bukan namaku. Ah, aku juga menaruh dua lembar uang pecahan seratus ribu di dalamnya.
"Loh buku kita juga dibayarin?"
"Iyaaaaa."
Devan kemudian kembali masuk ke ruang dosen dan menyerahkan kantong plastik tersebut ke Bu Lita. Beres urusan. Kami meninggalkan ruang dosen dan menuju pelataran parkiran kampus.
"Ke rumahku yuk? Aku minta tolong ajarin buat matkulnya Pak Anwar besok." Ajak Devan. Devan sebenarnya tidak begitu cemerlang dalam urusan akademik.
"Okey.."
"Kamu naik apa tadi berangkatnya?" Tanyanya.
"Dianter papa."
"Langsung aja ya berarti? Aku bawa mobil." Ucap Devan sambil mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas.
"Tumben bawa mobil. Ngga dipake ibu?" Devan menggeleng. Ia kemudian membuka kunci mobilnya dan kami segera melaju.

Suasana sepi rumah Devan menyapa ketika aku turun dari mobil. Devan memarkirkan mobil di garasinya dan aku bersandar di depan pintu rumahnya. Devan sama sepertiku, anak semata wayang. Orang tuanya bercerai sejak ia dibangku SMA lantaran ayahnya selingkuh. Saat ini ibunya bekerja di perusahaan asuransi, dan waktu mereka untuk bertemu pun dimulai ketika sore, ketika ibunya pulang kerja.
"Ibu belum pulang?" Tanyaku ketika melihat jam dinding menunjuk angka 5 lebih 15 menit namun ibu belum terlihat juga.
"Ibu lagi keluar kota. Kamu mau minum apa? Duduk dulu sana gih." Kata Devan yang saat ini sudah berada di dapur. Aku duduk di sofa panjang di ruang tengah, depan tv. Jadi, kami berdua sendirian?
"Es teh deh kalo ada. Kalo ngga ada, air putih dingin aja." Aku memainkan handphoneku, merefresh feed instagramku.
"Nih. Aku ganti baju dulu ya." Segelas es teh sudah nangkring di meja didepanku. Tak berapa lama, Devan keluar dari kamar. Kemeja lengan panjang dan celana jeans biru tadi sudah berganti menjadi outfit rumahan, kaos dengan logo ironman dan celana kargo pendek berwarna hitam. Ia menyusulku duduk di sofa, disamping kananku. Ia bertanya apa yang sedang kulihat, dan aku menjawab feed instagram. Lalu keheningan melanda. Aku merasakan tangannya di bahu kiriku, mengelus-elus lengan atasku sebentar. Aku mendongak, mengerti jika ia membutuhkan perhatianku. Ia kemudian mendekatkan wajahnya, semakin dekat, dan ia mencium bibirku lembut. Ciuman tersebut bertahan agak lama, dan aku menghentikannya.
"Katanya mau belajar buat matkulnya pak Anwar?" tanyaku sambil menyesap es teh.
"Oh iya. Eh tapi tolong ambilin hp aku dulu dong, di kamarku. Di meja belajar, sebelahnya ranjang." Katanya. Ia mengambil remote lalu menyalakan tv.
"Manja bener." ucapku, namun aku tetap ke kamarnya untuk mengambil hpnya. Sesampainya di kamar, aku segera menuju meja yang dia maksud tadi, namun aku masih belum menemukan hpnya. Aku mencari lagi di tempat lainnya, namun masih belum ketemu juga. Ketika aku berbalik badan bermaksud untuk bertanya ke Devan, ia sudah di ambang pintu, memperhatikanku.
"Dimana ih hpnya? Ngga ada aku cari." tanyaku agak kesal.
"Itu, disitu." ucapnya menghampiriku sambil menunjuk meja belajar yang sudah aku jelajahi tadi.
"Nggak a.." kalimatku terhenti ketika Devan menciumku. Kali ini, ciumannya terasa sedikit kasar. Aku hanya menurutinya. Tangannya mulai melingkar di pinggangku, akupun melakukan hal yg sama. Ia menuntunku ke ranjangnya, dengan bibir yang masih melekat di bibirku. Oh no.
"Devan." panggilku ketika bibirnya mulai bergerilya ke leherku.
"Hm?" hanya itu responnya. Ia masih melanjutkan aktivitasnya tadi, sementara aku menggeliat antara kegelian dan berusaha untuk melepaskan diri. Meskipun sudah setahun lebih kami berpacaran, tindakan terjauh kami hanya berciuman. Aku yang masih belum siap untuk melanjutkan ke kegiatan intim lainnya, dan aku juga tidak mau untuk memberikan daraku ke sembarang orang. Dosa.
"Devan, stop." Ucapku. Kali ini, ia mendongak, dan menatapku.
"Masih belum siap?" tanyanya. Aku mengangguk lemah. Ia kemudian beranjak dari atasku, lalu duduk di sampingku. Aku bangun, dan kami berdua terdiam.
"Maaf ya." Aku tahu Devan marah, dan aku merasa aku berhak untuk meminta maaf.
"Ngga papa." Namun ia masih menunduk, tak mau menatapku. Aku menggenggam tangannya, dan ia menatapku. "Aku antar pulang aja ya." katanya. Aku terkejut, lah dia ngambek nih ceritanya? Meskipun begitu, aku masih merasa bersalah atas kejadian ini.
"Iya." jawabku lirih.

Di perjalanan pulang, kami berdua diam seribu bahasa. Hanya suara radio mobil yang meramaikan suasana. Sesampainya di depan rumahku, ia langsung berpamitan pulang tanpa basa-basi. Apa dia marah karena aku tidak memberinya jatah?
.
.
//Author's note//
Hola geeeengs. Ya ampyuuun sumpah dah maapin karna baru update sekarang, tengah malam pula. Skripsi ini membunuhku you knoooow:'((((((
Anyway, part 5 sudah up yawww. Kira-kira apa yg bakal terjadi antara Devan dan Julia? Eh Pak Ardan kemana nih kok ga muncul samsek?
Anyway (2), mohon bersabar untuk KMIYH, soalnya bakal ada banyak rombakan dan editan :'))))

Story of Another UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang