2013
"Al, hari ini jadi kan kerja kelompok di rumah aku?"
Almira yang sedang fokus menulis catatan materi di papan tulis pun mendongak, menatap sepasang manik hitam milik Rama.
Almira mengangguk mengiyakan, kemarin memang mereka sudah sepakat untuk kerja kelompok di rumah Rama. Tadinya Mira meminta untuk di rumahnya saja, tetapi Rama bilang jarak sekolah ke rumahnya lebih dekat. Lagipula hari ini Mira ingat jika di rumahnya tidak ada siapapun, jadi akhirnya Mira menyetujui usulan Rama.
"Di rumah kamu ada Mama Papa kamu, kan?" Tanya Almira memastikan.
"Ada lah, kamu tenang aja," Rama mengerlingkan matanya ke arah Almira yang dibalas kerutan kening oleh gadis itu.
Almira pun ingin melanjutkan kegiatan mencatatnya ketika Rama menepuk pundaknya dua kali, lalu membisikkan suatu kalimat,
"Sampai ketemu nanti, Al,"
Lalu lelaki 18 tahun itu pun pergi meninggalkan Almira yang kebingungan akan makna kata 'sampai ketemu' dari Rama barusan.
Mereka, masih satu kelas kan?
🍋🍋🍋
Almira turun dari motor yang dikendarai oleh Rama, diikuti oleh lelaki itu. Melihat ke sekeliling rumah Rama yang terlihat sepi, seperti tidak ada seseorang di rumah itu. Almira ingin bertanya, namun Rama sudah lebih dulu menarik tangannya.
Ketika sudah masuk ke dalam rumah Rama, Almira makin merasa bahwa tebakan benar kalau di rumah ini tidak ada orang. Hanya mereka berdua. Almira buru-buru melepaskan tangannya dari genggaman Rama.
"Ram, kayaknya di rumah kamu gak ada orang ya? Gimana kalau kerja kelompoknya di taman komplek yang tadi kita lewatin?" Ujar Almira.
Rama hanya menatap sekilas Almira, lalu melepas jaketnya sembarang.
"Disini aja, Al. Mama aku paling lagi keluar sebentar. Kalo di taman komplek pasti gak bisa fokus, banyak anak-anak."
"Tapi---"
"Yuk, ke kamar aku aja,"
"Kenapa harus di kamar?" Tanya Almira spontan, tidak sadar nada bicaranya agak meninggi. Tapi Rama hanya terkekeh, seolah mengabaikan kepanikan Almira yang berusaha gadis itu tutupi.
"Kamar aku ada komputernya, Almira. Buku-buku buat materi kerja kelompok kita juga ada disitu, aku males bawa ke bawah. Kamu tenang aja, pintu kamar ga aku tutup nanti."
Almira menatap tak tentu arah. Jujur saja ia khawatir akan terjadi apa-apa. Bagaimanapun ia sadar, dirinya masih sangat polos untuk ukuran anak remaja berumur 18 tahun. Ia takut akan terjadi hal yang tidak-tidak nantinya.
Rama menarik tangannya kembali, membawanya ke lantai dua-- kamarnya berada. Almira pun berusaha mencari cara untuk bisa keluar dari suasana canggung ini.
"Ram, a--aku, pulang aja deh ya," pinta Almira.
"Kamu udah janji kerja kelompok sekarang, loh, Al. Masa gak jadi lagi? Mau kapan kelarnya?" Rama menengok ke arah Almira, "Biologi tuh penting banget, Al. Kamu tau sendiri Pak Zul killer banget,"
Almira terdiam. Benar apa yang dikata Rama. Tapi ia tidak nyaman dengan keadaan sekarang. Entah kenapa firasatnya mengatakan buruk.
"Ta-tapi, aku---"
"Kamu bisa diem gak sih, Al?" Nada bicara Rama agak meninggi, menyentak Almira yang malah semakin takut, "kamu takut aku ngapa-ngapain kamu, hah?!"
Rama tersenyum miring sambil memperhatikan Almira yang berdiri berhadapan dengannya dari bawah sampai atas. Seolah meremehkan sosok Almira.
Lelaki itu melipat tangannya di dada, masih dengan senyuman miringnya.
"Kamu sadar, Al. Gak ada yang menarik di diri kamu. Apa yang mau aku nikmatin dari badan kamu?"
Ucapan Rama pun membuat Almira tercengang. Lelaki itu-- baru saja menghina tubuhnya.
Almira menatap badannya yang terbalut seragam SMA unggulan di kotanya. Memang kenapa dengan badannya? Apa yang membuat dirinya tak menarik seperti kata Rama?
Sedikit banyak, ucapan Rama membuat hati Almira tercubit.
"Tapi," ucapan lelaki itu menggantung, ia mendengus sebelum melanjutkan ucapannya, "berhubung kamu udah mikir yang macem-macem tentang aku, jadi aku akan mengabulkan apa yang udah kamu takutin dari tadi." Senyum smirknya terbit, membuat Almira ketakutan setengah mati.
Almira sudah ingin berlari namun kalah cepat dengan tarikan Rama di pergelangan tangannya. Secepat helaan angin, Almira sudah terkurung dalam kamar Rama. Dikunci pintu kamar itu, lalu Rama tersenyum bengis menatap Almira yang sudah pucat di tempatnya.
"Aku akuin, kamu emang gak polos banget, Al." Ucap Rama menatap Almira, "buktinya kamu udah bisa menduga kalau aku jebak kamu," senyum smirknya belum lah hilang dari wajah Rama.
"Je-jebak?"
"Yah, aku minta sama Pak Zul buat kita satu kelompok. Dengan begitu, aku bisa dengan mudah bawa kamu ke rumahku. Kalau gak begitu, mana mungkin kamu dengan mudah bilang iya untuk ke rumahku?" Rama terkekeh senang, kedua tangannya iya masukkan kedalam saku celananya, "dan yah, rumah aku emang gak ada siapa-siapa. Orang tua aku sibuk kerja sampe malam, dan pembantuku, udah aku suruh pulang. Jadi gak ada yang bisa nolongin kamu,"
Rama maju ke hadapannya Almira membuat gadis itu beringsut hingga menyenggol kaki ranjang Rama dan terduduk di pinggir ranjang. Badannya sudah gemetar tak karuan, matanya tak bisa berhenti bergerak-- masih mencari jalan keluar.
"Kamu sih," Rama memegang dagu Almira membuat tatapannya gadis itu terarah padanya. Terlihat genangan air di pelupuk mata Almira, namun Rama tak peduli, "cuma kamu yang bikin aku penasaran, Al. Gimana rasanya seorang Almira Gantari. Hehehe,"
Dengan satu sentakan, Rama berhasil mendorong Almira hingga berbaring di tengah ranjang. Almira berusaha berontak, namun tenaga Rama lebih kuat dibanding dirinya.
Dalam tangisnya, Almira berdoa.
Dalam tangisnya, Almira berharap.
Dalam tangisnya, Almira masih menggapai harap.
Semoga yang terjadi sekarang hanyalah mimpi buruk ketika tidur.
Namun ketika kesakitan di pusat dirinya terasa, Almira tau satu hal.
Ia sudah kalah.
🍋🍋🍋
KAMU SEDANG MEMBACA
rekognisi
General FictionSebelumnya, Arjuna tidak ingin apa-apa. Atas segala apa yang telah ia lakukan untuk Almira, Arjuna tidak ingin apa-apa. Namun setelahnya, Arjuna ingin. Arjuna ingin, sebuah pengakuan. "Kamu akan selalu jadi yang terbaik, Jun. Kamu-- sahabat terbaik...