III

2 0 0
                                    

Almira tidak tahu punya keberanian seberapa besar sampai bisa berhadapan kembali dengan Rama-- si biang dari segala biang masalah dalam hidupnya.

Setelah kejadian amat buruk beberapa waktu lalu, Almira sempat tidak masuk sekolah. Bahkan ketika ia masuk kembali dan bertemu Rama, ia tidak pernah mau lagi melihat lelaki brengsek itu. Rasanya masih seperti kejadian itu baru saja terjadi. Luka yang ditinggalkan Rama masih menganga, entah kapan bisa tertutup maaf.

Tapi sekarang yang terjadi malah di luar dugaan. Almira menarik paksa lelaki bermata bulat itu ke arah lapangan volley yang letaknya berada di paling ujung sekolah. Bukan tanpa maksud Almira menyeret Rama kesana. Lapangan volley sekolahnya jarang dipakai dan jarang juga ada orang yang melintas. Almira butuh suasana yang senyap untuk bisa mengutarakan maksudnya pada Rama. Karena bagaimanapun, Rama harus tahu.

Ini akibat perbuatannya...

Rama menghempas cekalan Almira ditangannya ketika mereka sudah sampai di lapangan volley. Ia melipat tangannya di dada sambil matanya tak lepas menatap tajam perempuan yang terlihat pucat, namun tak dipedulikannya.

"Udah berani nyeret-nyeret gue ke tempat sepi, belum puas sama yang kemarin?" Tanya Rama kasual namun sarat sindiran.

Almira masih diam di hadapan Rama. Matanya terus memandang ke arah bola mata lelaki itu. Mencoba mengumpulkan keberaniannya. Karena bagaimanapun, kejadian tempo hari membuat rasa trauma berkumpul dalam diri Almira. Kalau saja tidak ada hal penting yang melibatkan dirinya dengan lelaki brengsek di hadapannya ini, sudah pasti Almira tidak sudi menyeretnya.

Melihat Almira terus saja bungkam, Rama jadi jengah lalu membuang muka asal sambil mendengus. Ia pun menatap kembali sepasang mata hazel milik Almira, melangkah maju selangkah ke hadapan Almira namun gadis itu malah mundur tiga langkah-- menjauhi dirinya.

Rama mendengus kembali, menahan kesal karena kelakuan Almira yang tak tertebak.

"Lo ngapain sih? Mau apa sampe narik gue kesini, hah?" Tanya Rama, "lo mendadak gagu?"

Tak ada balasan lagi. Gigi rama bergemelatuk melihat sikap Almira yang terus bungkam. Ia tak tahan. Dicekalnya lengan atas Almira dengan kuat membuat tubuh mereka bertubrukan, menjadi sangat dekat-- dan tentu saja Almira meringis menahan perih akibat cekalan Rama.

"Mau lo apa sih?!" Sentak Rama penuh penekanan, "JAWAB!"

Dengan sisa keberaniannya, Almira mendongak-- menatap mata Rama yang penuh kilatan emosi. Genangan di pelupuk matanya berusaha ia tahan, Almira tidak mau terlihat lemah di hadapan Rama untuk kedua kalinya. Cukup sekali saja ia terlihat lemah, dan langsung kehilangan apa yang paling berharga dalam tubuhnya-- kehormatannya sebagai seorang perempuan.

"Kamu gak merasa bersalah atas kejadian yang lalu, Ram?" Tanya Almira pelan.

Sejujurnya percuma saja Almira menanyakannya. Dari tingkah Rama pun sudah terlihat tak ada rasa penyesalan. Namun Almira ingin memastikan saja, sekedar menghancurkan hatinya yang memang sudah menjadi puing. Bebal.

Rama tertawa meremehkan mendengar pertanyaan Almira, "bersalah? lo mengharap gue bersalah? Serius?"

Tak ada sahutan. Rama kembali tertawa, kali ini lebih kencang. Membuat hati Almira kebas saking perihnya.

"Gak ada kata penyesalan dalam hidup gue, Al." Ucap Rama dengan suara rendah, netranya masih menatap tajam Almira yang sudah berkaca-kaca namun ia tahu gadis itu menahannya agar tidak luruh, "udah lah, Al, gak usah sok paling tersakiti. Waktu itu kita sama-sama menikmati. Lo tinggal lupain itu atau lo mau ngulang lagi?" Rama terkekeh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

rekognisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang