Gadis itu memandang gerbang yang berdiri menjulang dihadapannya. Digerbang itu tertulis cantik ‘Avalon Senior High Academy’, nama sekolah barunya. Sekolah ini bagus, sangat bagus malah. Tapi baginya, sama saja dengan sekolah lamanya. Semoga saja teman barunya baik.
Ia menoleh pada supir yang sedang membungkuk disampingnya sambil bergumam pelan, “Makasih Pak”
Ifa melangkah memasuki sekolah barunya sambil sesekali memperhatikan sekeliling. Namun langkah gadis itu seketika terhenti saat mobil berkap terbuka berwarna pink melaju kencang disampingnya, membuat debu debu menebal, beterbangan dan membuat mata Ifa kelilipan. Dan dari mobil itu, Thalita keluar bersama para pengikutnya.
Ifa menggerutu kesal “Ish, dasar manja! Buta kali, sampe gak liat gue disini. Sialan. Baru pertama sekolah aja, hidup udah kayak drama banget. Gimana besok besok? Kayak neraka kali ya”
Ifa melanjutkan kembali langkahnya sambil sesekali menggerutu menuju tata usaha. Tak lama kemudian, ia sudah berdiri didepan pintu ruang tata usaha. Kepala sekolah menyambut baik kedatangannya. Lelaki paruh baya tersebut menjelaskan kelas yang ditempatinya dan juga letak kelasnya. Yah, setidaknya keramahan Kepala sekolah membuat rasa kesalnya sedikit reda. Sedikit.
“XI IPA 2, lantai 5” katanya berulang ulang, takut lupa.Tidak masalah dilantai 5, ada lift yang siap mengantar.
Ia bersenandung lagu Fuc*k-you-very-much nya Lily Allen,(siapa lagi, kalau bukan untuk Thalita) kemudian memasuki lift yang ternyata tidak begitu ramai. Hanya ada seorang gadis berambut coklat yang sedang menghafal rumus matematika dibuku tulisnya, dan seorang pemuda bermata biru.
Tak lama kemudian terdengar denting saat layar lift menampilkan angka lima, mengagetkan Ifa yang sedang bersenandung. Ia bersiap keluar, dan kemudian agak terkejut melihat kedua orang yang bersamanya di lift ikut turun dilantai yang sama.
Berhubung dia tidak tau dimana letak kelasnya-yang dia tau Cuma lantai 5, dia memutuskan untuk bertanya pada mereka. Karena setidaknya kedua orang ini kelihatan lebih ‘ramah’ dibanding orang diparkiran tadi.
“Sorry?” Ucap gadis itu tersenyum ramah pada kedua orang tadi.
Kedua orang itu menoleh dan ikut tersenyum ramah “Ya?”
“Em, kelas XI IPA 2 itu dimana ya? Gue murid baru soalnya”
“Oh, XI IPA 2? Itu kelas kita juga” kata gadis berambut coklat, menunjuk pemuda bermata biru disebelahnya. “Bisa juga ya lo masuk pas semester 2. Biasanya pas tahun ajaran baru.”
Ifa hanya mengendikkan bahunya tak peduli.
Gadis berambut coklat mengangguk angguk mengerti lalu menjulurkan tangannya, “Gue Dhila”
“Ifa” Balasnya menjabat tangan Dhila, lalu beralih ke pemuda disampingnya yang menyodorkan tangannya dan berkata mantap “Gerald”
“Ifa” ulangnya tersenyum.
“Pindahan dari mana?” tanya Dhila sambil menggiring mereka bertiga menyusuri lantai 3 yang masih ramai oleh murid yang berlalu lalang.
“SMA deket rumah, gak terkenal sih. Gak kayak disini” Ucap Ifa.
Dhila hanya berOhh ria “Enak banget. Gue kalau mau ke sekolah pasti harus bangun pagi dulu supaya gak telat” ujar Dhila lagi.
“Hahaha. Gue memang beruntung”
Tak lama kemudian mereka berhenti didepan kelas dengan pintu tertutup rapat. Tanpa ragu Dhila dan Gerald menggiring Ifa masuk ke kelas itu. Ternyata kursi kosong ada empat. Dua diantaranya sudah terisi oleh Dhila dan Gerald yang duduk berseberangan.
“Ifa! Ayo.” Ajak Dhila mengagetkan Ifa yang sedang mengamati ruang kelas tersebut. Ruang kelas itu sangat nyaman, memiliki dua AC dan TV serta LCD yang tergantung dilangit langit ruang kelas. Dan bangkunya terpisah pisah dengan kursi, meja yang tersambung. Lumayan lah, enak buat tidur sorak Ifa dalam hati.
Dhila mengisyaratkan Ifa untuk duduk dibelakang bangkunya yang ternyata kosong. Ifa hanya mengikuti tanpa banyak protes.
Dhila memutar tubuhnya kebelakang, begitupun dengan Gerald yang ikut memutar tubuhnya ke belakang.
“Jadi, kenapa pindah kesini? Kan banyak sekolah yang lebih bagus dari ini.” Tanya Gerald memulai pembicaraan
Ifa memutar bola matanya “Jangan rendah hati deh, rald. Lo tau kan ini sekolah emang yang paling bagus sejakarta”
Dhilla ikut memutar bola matanya ditambah dengan lirikan sinisnya. “Tau lo.”
“Ampun deh, gitu amat repot.” Pemuda itu malah ikut ikutan memutar bola matanya yang berwarna biru. “Gue ganti deh pertanyaannya. Kenapa lo pindah kesini, padahal udah semester 2? Sekolah kan menerima murid baru Cuma ketika tahun ajaran baru.”
Gadis itu menghendikkan bahunya tak peduli “Gue gak tau. Bokap yang ngasi masuk kesini.”
Ifa kembali membuka mulutnya seperti masih ingin berbicara, tetapi Guru sudah datang, membuat gadis itu mengurungkan niatnya. Dhilla dan Gerald juga sudah menghadap keposisi semula.
Guru tersebut sepertinya tidak mengetahui ada murid baru, jadi ia langsung menjelaskan materi tanpa menyuruh Ifa memperkenalkan diri di depan kelas.
Karena bosan, Ifa melihat sekeliling. Teman sekelasnya sibuk dengan kegiatan masing masing. Ada yang membaca komik, berdandan, ada juga yang sibuk dengan ponselnya sambil senyum senyum.
Ifa kembali melihat sekeliling. Tidak ada yang mengobrol, sepertinya takut ketahuan Guru itu lantaran kelas sangat sunyi. “Ada pertanyaan?” tanya Wanita paruh baya itu tanpa senyum ketika ia sudah selesai menjelaskan materi. “Jika tidak ada, ibu yang akan bertanya”
Kelas yang sudah diam menjadi tambah diam. Murid murid yang membaca komik, bermain ponsel, atau berdandan memasukkan kembali peralatannya kedalam tas dengan terburu buru. Tidak ada yang bersuara.
Selang beberapa detik, derit pintu berbunyi nyaring membuat semuanya menoleh ke asal suara, termasuk Guru yang tidak diketahui namanya oleh Ifa. Dahi wanita itu berkerut melihat salah satu muridnya terlambat padahal jam pelajaran sudah dimulai setengah jam yang lalu.
Ansel. Pemuda itu masuk dan berjalan menuju bangku kosong sebelah Ifa tanpa memperdulikan sekitar. Kemudian dengan santainya melipat kakinya dan mengambil ponsel disakunya, memainkannya entah untuk apa. Pemuda itu entah sadar tapi masa bodo atau tidak sadar diperhatikan banyak mata dikelas. Kelakuan pemuda itu membuat Ifa teringat dengan film barat yang sering ditonton oleh pelayannya. ‘Mainstream abis’ Batinnya tanpa sadar terkekeh geli. Gadis itu mengira di sekolah paling populer di Jakarta, tidak ada lagi yang dibilang orang yang ditakuti karena semua siswa disini pasti anak orang kaya. Tetapi sama saja. Mungkin orang tuanya salah memilihkan sekolah untuknya.
Bu guru diam saja melihat kelakuan Ansel yang bisa dibilang kurang ajar sebagai murid. Ia pun kembali melanjutkan pelajaran, melupakan pertanyaan yang ditanyakan. Siswa siswi dikelas menghembuskan nafas lega. Diam diam mereka berterima kasih kepada Ansel. Tapi tidak bagi Ifa. Entah kenapa ia jengkel dengan sikap Ansel.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heirs
Short StorySemua gara gara sekolah itu. Ini tidak akan terjadi jika Ifa tidak masuk sekolah itu. Dan juga bertemu pemuda itu.