1. Like a moon

7 2 0
                                    

Padat kota jakarta membuat Dee berangkat lebih pagi. Mengenakan cardigan coklat dengan kaus broken white. Ia mengikat rambutnya asal meraih rasel di atas meja makan.

"Dee, dah mau berangkat?" suara lembut keluar dari balik meja dapur. Terlihat wajah tua ibunya yang lembut.

"Iya,mi. Cafe cabang Tebet hari ini katannya ada yang sewa" jawab Dee ambil meraih teko berisi teh panas kemudian menuangkannya pada mug yang akan ia bawa hari ini.

"Udah di- acc sama bang Re. Tapi bang Re kayaknya baru bisa dateng ke cafe jam 12 an. Jadinya aku yang suruh handle" lanjut Dee meraih sebuah map biru. Serta wafle buatan sang ibu. Tak lupa peaper bag salmon miliknya.

"Mi, berangkat dulu. Assalamualikum"

"Alaikumsalam"

Ia menatap kelabu langit di selatan kota. Ia hanya berharap tak banjir di hari ini. Sambil mrnyetir ia pun menyusun to-do- list untuk hari ini. Setidaknya sampai nanti sore. Ditengah mulutnya yang sibuk mengunyah wafle telfon nya berdering beradu dengan suara hujan yang menabrak apapun yang ia dapat raih. Serta klakson di sana sini.

"Assalamualikum, ya?"

Akhirnya Dee menjawab setelah melatakan wafle kembali di dasbor serta memasang earphone.

"Mbak, Dee dimana? Ko belun sampe?"

"Ini udah di depan,mir. Tinggal parkir aja. Emang kenapa?"

Ternyata Mira hanya sedang bingung mengurus dekorasi yang sesuai dengan kemauan pelanggan nya. Pasalnya yang menghadiri pertemuan langsung dangan klien tentunya Re. Tapi malah abangnya itu tak ada di tempat saat ini. Dee memuatar matanya.

"Mbak, Dee. Ini gimana?" Dee mengulas senyum lembut. Menenangkan.

Menanyakan konsep desain yang di inginkan klien. Sambil menggambar sesuai apa yang di katakan Mira. Memerintah membeli beberapa perlengkapan lagi menyusun buket, Dan dekorasi secara bersamaan.

Untungnya di ujung persiapan, abangnya sudah nampak dari balik kaca cafe. Ia menghela napas. Setidaknya tenaga tambahan datang.

"Makan dulu deh, De. Ini biar abang yang beresin"

"Udah tadi. Tanggung juga"

Re menggelang mengusap kepala adiknya dengan sayang. Ia tau Dee belum makan. Namun ia jamin sang adik tak kan berhenti kalau pekerjaannya belum seleaai sepenuhnnya.

Kini yang ia lihat apa?

Adiknya menngunyah sebuah roti di sisi kanan sisi satunya menghias serta menyusun tumpukan kue.

"Ngga ada yang tau apa yang buat lo diem selain tidur,dek"

Dee terkekeh mendengar celetukan sang kakak. "Kaya lo ngga aja" terdengar tawa membahana diantara keduanya.

"Tapi dek. Lo kan perempuan" alis Dee meninggi lah emang gue kenapa? Itulah yang dapat Re baca dari ekspresi Dee sambil menunjukkan mata bulatnya kemudian mengerjap- ngrepjap tak paham.

"Ye, lo kan tau perempuan mah banyakan pada melow. Dikit-dikit bilang cape. Dikit-dikit bilang ngga kuat. Dikit-dikit bilang ngga ada waktu"

Alis Dee makin meninggi. Ini abang curhat? Tapi tak mengutarakan isi hatinya ntar dia ngambek. Batin Dee.

"Kodrat bang"

"Tapi kan ngga bisa gitu juga dek. Kita laki-laki juga punya  cepek, punyabmasa lelah ngeladenin kalian yang ngga bisa di mengerti diantara kode otak kami." Dee mengangguk angguk saja sambil menuliskan quotes picisan yang ia temukan di mesin pencari.

DeluasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang