Aku memberi sebatang lilin untuk dinyalakan di depan kaca,terkadang aku harus menaruh dua batang lagi di sisi kanan dan kirinya agar mereka tidak datang lagi. Perkenalkan, namaku Daniel Putrasena, kalian bisa memanggilku Daniel atau Niel, kuserahkan padamu, aku lahir di NYC 'New York City' anak tunggal dari pasangan Hellena Louis Senath Immanuel. Kami tinggal di NYC selama kurang lebih dua belas tahun dan kembali ke Indonesia saat umurku sudah enam belas tahun.Ayahku berasal dari France sedangkan Ibuku Jerman, mereka menikah tanpa sepengetahuan dari masing-masing keluarga, hingga lahirlah aku. Cukup sampai disini, aku akan bercerita tentang bagaimana perasaanku saat menjadi anak yang tidak diinginkan.
Di usia lima tahun, diriku dibingungkan oleh sebuah clan yang seharusnya setiap anak mendapatkannya dari nama belakang ayahnya, tetapi aku tidak. Masalah mereka sangat rumit, katanya. Sehingga Daniel yang malang ini harus menanggalkan marganya sendiri.
"Daniel, pergilah bermain dengan teman-temanmu, jangan berbicara dengan kaca, ibu mohon," Hellena berteriak dari dalam kamarnya, memberi perintah Daniel agar segera mengangkat kaki dari depan meja rias antik di depan kamar Hellena.
"Ah tidak bisa, aku harus pergi atau ibuku akan marah," Daniel tersenyum ke arah kaca dan meniup lilin dihadapannya.
"Ibu," Daniel memanggil ibunya dengan bahasa perancis, aku tidak bisa mengintip, aura ibunya sangat kuat melindungi ruangannya.
"Daniel, berhentilah berbicara dengan mereka, kalian berbeda, ibu tidak suka jika kau berbicara dengan makhluk gaib di cermin itu, tolong, menurut ya?" Helena menasehati Daniel yang tengah duduk disampingnya, sambil mengelus kepalanya, Hellena membacakan sebuah doa atau mantra, aku tidak tau,yang jelas auranya semakin terasa kuat.
"Ibu, berhentilah. Tolong."
"Kamu tetap anak ibu, Daniel."
Tuan Senath datang, dia pulang dari kantornya sekitar pukul delapan malam, waktu Indonesia bagian barat. Dia tampak lesu tak bersemangat, terlihat dari jas yang bertengger di lengan kanannya.
Tampaknya dia masih berduka atas kematian anak sematawayangnya yang mati konyol karena kebodohannya. Dia menyesali kejadian di masa lampau.
Senath masuk ke kamarnya, disana dia melihat istrinya yang sedang mengelus sesuatu, entah itu apa, yang pasti Senath tidak bisa melihatnya.
"Kau mengkhayal lagi?" tanya Senath kepada puannya.
"Shut up!"
"Please baby, c'mon. It's okay, jangan seperti ini, aku tidak bisa melihatmu seperti ini, Daniel sudah tenang disana."
Senath menarik Hellena masuk ke dalam pelukannya, melupakan beban yang dia pikul tadi dan memilih untuk menenangkan istri tercintanya yang sedang berduka.
(Daniel PoV)
Aku menyesal, aku menyesal, aku menyesal. Tidak tau apa yang kupikirkan, ada apa dengan diriku, kenapa ayah tidak bisa melihatku? Aku berlari menuju kaca, membuang semua lilin dan menangis.
Seseorang berkata, "Hargai mereka selagi ada," sangat benar. Daniel yang malang tertinggal sendirian tanpa makanan, minuman dan juga obat untuk asma yang dia derita. Orang tuanya yang terlalu sibuk mencari uang untuk keluarga kecil mereka melupakan Daniel yang juga butuh perhatian dan kasih sayang, bukan materi. Daniel tewas, karena penyakit asmanya, dia ditemukan terkapar tak berdaya didepan kaca antik di depan kamar Hellena. Pemuda malang itu tergantikan oleh kesibukan orangtuanya.
Hellena menangis. . .
...
Hellena bisa melihat hal yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, contohnya masa depan dan makhluk halus. (Hellena PoV)
"Dan kini aku mengerti, kenapa aku diberi sakit, Tuhan ingin menyadarkanku, ada malaikat kecil yang harus kurawat dirumah," Hellena yang barusaja terbangun dari mimpi buruknya menoleh kearah kanan, tampak Daniel sedang tertidur sambil memeluk lengan berinfus ibunya.
Hellena menceritakan mimpinya tentang Daniel dan juga kaca itu ke suaminya, Hellena resign dan Senath sepakat akan mengurangi jam lembur untuk meluangkan waktu bersama keluarga.