Part 1

24.6K 818 44
                                    

Mata sayu itu mencoba dengan kesusahan membuka kelopaknya, seakan ada batu besar tertimbun di sana, berat dan menyakitkan. Tak hanya matanya yang terasa berat, namun seluruh tubuhnya menegang, urat sarafnya seakan hampir putus menahan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya, terutama di area intimnya.

Sekali lagi, suaminya mendatanginya dalam keadaan mabuk dan berlaku kasar. "Yah, dalam keadaan mabuk dia baru akan menyentuhku, saat kesadarannya sempurna, maka melirikku pun seakan sangat menjijikkan." Mata sayu itu mengembun, bulir-bulir air bening menetes tanpa bisa ditahan. Entah kapan semua ini berakhir, karena ini saja baru dimulai.

Menikah dengan lelaki yang telah memperkosamu bukanlah hal tepat. Namun, aku bisa apa, saat takdir membawaku untuk menjadi istri dari seorang lelaki yang sangat jahat? Terluka, kemudian menikah pun aku terluka kembali. Fani terus saja bermonolog sambil menatap langit-langit kamarnya.

Di sinilah aku, Fani Fadillah menjadi seorang istri yang tak diinginkan suami, setiap ku membuka mata, ku berharap kepedihan ini hanyalah mimpi, namun takdir masih ingin menaungiku dengan air mata yang tak berkesudahan.

Tuk!
Tuk!

Pintu kamar diketuk.

"Permisi Nyonya, ini saya Bik Ina, membawakan sarapan," suara bik Ina memanggil Fani dari balik pintu kamar.

Dengan kesusahan  Fani bangun dari ranjang empuk, menutupi seluruh tubuh dengan selimut, Fani melirik jam di dinding sudah pukul delapan pagi. Sedikit terseok menghampiri pintu kamar dan membukanya.

Sedikit kaget Bik Ina melihat wajah pucat Fani namun seketika menunduk sungkan.

"Masuk Bik, taruh saja di meja itu," ucap Fani lemah.

Bik Ina masuk dengan menunduk, tanpa memperhatikan keadaan sekitar kamar yang sangat berantakan.

"Bik, apakah Mama dan Papa masih di bawah?" tanya Fani lemah sambil merapatkan selimut, karena  tubuh Fani sedikit menggigil.

"Masih. Nyonya dan Tuan masih di bawah sedang duduk di taman belakang, kalau Tuan Munos sudah ...."

"Baik Bik. Terima kasih, saya mau istirahat lagi," potongnya tanpa minat saat mendengar nama Munos, sebelum sempat Bik Ina menyelesaikan ucapannya. Bik Ina pamit meninggalkan Fani yang masih mematung di depan pintu kamar. Selepas menutup pintu, dengan langkah gontai Fani masuk ke dalam kamar mandi dengan jalan yang kepayahan. Area intimnya seakan sangat tebal dan perih, entah apa dan bagaimana cara Munos memperlakukan dirinya. Ia pun tak ingin mengingatnya.

Dinyalakannya pancuran air hangat untuk membasuh badannya, pelan sekali diusapnya seluruh tubuhnya yang terasa sangat sakit. Selesai melakukan ritualnya, Fani dengan perlahan berpakaian lalu merapikan seluruh kamar. Mengganti seprei dan selimut. Memasukkan pakaian kotor dirinya dan suaminya ke dalam keranjang cucian.

Terdengar suara kukuruyuk dari dalam perutnya.

"Ya Allah sayaang, ibu sampe lupa kalian belum sarapan," bisiknya pelan bicara pada perutnya yang sudah sedikit membuncit.

"Kita makan yaa, maafin Ibu," lanjutnya lagi sambil mengusap perutnya penuh cinta. Lalu menyuapkan nasi goreng telor ceplok ke dalam mulutnya. Tak lama makanan yang di atas piring itupun habis. Jujur ia sangat lapar dan butuh tenaga ekstra untuk menghadapi suami kejamnya setiap hari.

"Fani," panggil suara wanita paruh baya di balik pintu.

"Iya Mah, masuk saja. Pintunya tidak Fani kunci," sahut Fani sedikit bersuara jelas.

Sudah hampir dua bulan Fani tinggal di sini dan selalu berdebar saat Bu Sundari masuk ke kamarnya. Wajah cantik wanita paruh baya itu menyunggingkan senyum penuh ketulusan, saat melihat menantunya sudah selesai mandi dan sarapan.

Takdir Pernikahan(VERSI LENGKAP SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang