Para Gadis Penasaran

24 2 1
                                    

"Bloody Mary, Bloody Mary, Bloody Mary".

Hening.

Warna oranye mungil berpijar dari dua lilin yang menjadi sumber cahaya dalam gudang. Satu lilin berdiri kokoh di kiri cermin dan satu di kanan. Gudang itu sudah lama tak terpakai tapi bersih, karena anak-anak yang tinggal di asrama memiliki jadwal piket untuk membersihkan seluruh bagian asrama termasuk gudang itu. Ukurannya cukup besar untuk menampung barang-barang asrama yang sudah tak digunakan. Bahkan dua lilin yang dinyalakan tak mampu menerangi seluruh bagian ruangan.

"Mungkin kau harus mengucapkannya lebih keras," seorang gadis berbisik dari balik kursi yang sudah reyot. Jenis suara bisikan yang tetap diucapkan lebih keras agar semua orang bisa mendengar.

"Bloody Mary, Bloody Mary, Bloody Mary!" gadis yang pertama berbicara tadi akhirnya berteriak. Cermin besar di hadapannya tetap bergeming. Benda itu tak lebih lebar dari rentangan tangan orang dewasa, tapi tingginya melebihi sosok gadis yang kini duduk di hadapannya. Bingkainya berukirkan akar rambat emas yang menjalar tak terputus, dengan rumbai-rumbai cabang bergulung di sepanjang tubuhnya, bunga-bunga mungil menyembul di beberapa ujung cabangnya. Bayangan sang gadis terpantul di permukaannya. Wajah lugu, mata dengan iris berwarna coklat kelam, dan rambut coklat akibat terbakar matahari pendek sebahu.

"Sudahlah," sebuah suara lain, yang terdengar lebih dewasa, menghela napas. "Tak ada gunanya. Toh cuma mitos," gadis pemilik suara itu keluar dari tempat persembunyiannya. Tangannya memberi isyarat agar lilin dimatikan dan ia pun menyalakan senter. "Kita bisa melakukannya lagi lain waktu," sang gadis dewasa berjanji. "Sekarang kita harus tidur. Besok upacara".

Tak ada lagi protes atau keluhan. Merry, gadis yang bertugas merapalkan nama sang 'Bloody Mary' tadi, meniup kedua lilin, dan dengan enggan mengikuti teman-temannya menuju pintu gudang. Gudang menjadi gelap, kini satu-satunya penerangan adalah lampu hias yang menempel di dinding luar asrama. Cahayanya berjuang menembus korden transparan, dan hanya beberapa garis samar yang berhasil menerangi sebagian kecil ruangan itu. Sebelum menutup pintu, Merry menoleh ke arah cermin.

Napas Merry mendadak tercekat. Ia ingin berteriak memanggil teman-temannya yang sudah berjalan menjauh, tapi sesuatu mencegah tubuhnya untuk melakukan apa pun. Jemari tangannya terasa kaku, kedua manik matanya melebar.

Merry bersumpah melihat sosok gadis seumurannya terpantul di permukaan cermin, melambai dan tersenyum ke arahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Moody MaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang