alasan

1.7K 224 32
                                    

Kamu menyeduh kopi hitam buatanmu ke lepek, sembari mengamati anakmu yang mondar-mandir di depanmu—mencari kaus kakinya yang lain yang juga tak di temukannya.

"Taehyun, aku tidak masalah tidak memakai kaus kaki." Teman anakmu yang sedari tadi berdiri mulai jengah dengan tingkah anakmu, akhirnya membuka suaranya. Kamu tertawa kecil menanggapi tingkah laku keduanya yang mengingatkanmu padanya dulu. Anakmu mendelik padamu, tidak suka ditertawakan olehmu.

"Tidak, kak Yeonjun bisa dihukum nanti." Anakmu menyeret temannya untuk duduk di samping kursimu. Kamu menaikkan sebelah alismu, bingung dengan tingkah anakmu sendiri, begitu pula dengan teman anakmu yang juga tak kalah bingung.

Anakmu kemudian melepas sepatu dan kaus kakinya, disusul dengan melepas sepatu temannya. Teman anakmu menganga begitupun dengan kamu yang ikut menganga, takjub dengan anakmu yang saat ini tengah memasangkan kaus kaki miliknya ke kaki milik temannya.

"Taeh──"

"Sttt──diamlah kak, aku tidak mungkin membiarkanmu dihukum." Anakmu menatap tajam temannya hingga membuatnya diam, tampak menyerah. Sedang kamu hanya terkikik memperhatikan, sembari sesekali menyesap kopi di lepekmu.

Anakmu tersenyum puas setelah melakukan hal yang sungguh menggelikan buatmu, padahal anakmu bisa membeli kaus kaki baru, kemudian keduanya beranjak sambil berangkulan.

"Orang tua, ada surat lagi untukmu,"

"Suratnya ada dikamarmu." Anakmu berkata padamu sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. kamu terdiam, bukan soal anakmu yang memanggilmu orang tua tapi soal surat yang lagi-lagi dikirimkan untukmu.

Kamu menghela nafas berat, matamu melirik tempat sampah di sampingmu yang berisi tumpukan surat yang dikirimkan olehnya. Surat yang isinya sama semua, yang mengajakmu untuk bertemu.

Kamu mengabaikan kopimu dan menyambar kunci mobil. Untuk satu kali ini, kamu memutuskan untuk menemuinya.

.

.

.


Kamu memakirkan mobilmu di pinggir jalan, kedua matamu mengamati cafe diseberang jalan. Dibalik kaca mobilmu, Matamu terus memperhatikan orang-orang, mencari dimana orang yang kamu cari sedang duduk. Tapi nihil, kamu tidak mendapatinya.

Kamu memutuskan keluar dari mobil, keluarnya dirimu menarik beberapa pasang mata. Di usia yang sudah tidak muda lagi, kamu masih sangatlah mempesona. Kamu akan menyeberang jalan untuk menuju cafe itu, tapi seseorang memanggilmu.

"Yoongi." Kamu berbalik dan mendapati teman masa menengah atasmu dulu. "Hoseok." Katamu kemudian.

Temanmu itu meninju bahumu. "Apa yang membawamu kesini? Ini sudah sepuluh tahun." Katanya lagi. Kamu mengendikkan bahu, malas bercerita.

Temanmu itu menyeretmu menuju cafe yang sebelumnya akan kamu singgahi. Kamu mengikutinya duduk di bangku cafe yang terletak di pinggir jalan, diatasnya hanya ada payung besar yang melindungimu dari teriknya matahari.

"Bagimana kabar istrimu?" Kamu menatapnya malas, tapi akhirnya menjawabnya juga. "Aku sudah bercerai dengan wanita itu."

"Ah──bicara mengenaimu, kau masih ingat dengan Taehyung?" Kamu mengangguk. "Sampai hari ini dia terus mengirimiku surat." Jawabmu. Yang membuat temanmu itu melotot, wajahnya yang biasa selalu cerah sekarang terlihat bingung di matamu saat ini.

"Tidak mungkin." Temanmu berkata lagi. Kamu mengkerutkan dahimu. Bingung kini melandamu.

"Taehyung sudah meninggal, jadi bagaimana mungkin dia yang sudah meninggal mengirimimu surat?" Lanjutnya yang membuat tubuhmu membeku di tempat. Kepalamu berputar. Penggalan memori-memori tentangnya seperti kaset rusak yang terus berputar dikepalamu.

alasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang