Verse

219 21 0
                                    

BTS © Big Hit Entertainment. Story © Rexa Anne.

Hai! Jumpa lagi. Terima kasih buat votenya😊 Saya membawakan lanjutannya lagi. Selamat membaca!

.
.
.

Mereka menyusuri trotoar hingga mencapai halte. Menunggu bus di bangku panjang sambil asyik bercanda. Bus tiba lima menit kemudian. Membawa mereka menuju ke Sungai Han. Di mana, bantaran sungainya sedang dipenuhi keramaian para insan. Tak ubahnya seperti saat festival sedang digelar. Penjaja jajanan berderet di sepanjang lahan kosong di bantaran sungai yang memang disediakan. Mengikuti acara inti yang baru saja dimulai.

Beberapa relawan membagi-bagikan pamflet berisikan urutan para performa yang akan tampil. Jimin meminta beberapa untuk Jeongguk dan Seokjin yang menunggu di stan sosis ikan bakar. Mereka baru saja makan, tapi tak ada yang bisa menolak wangi khas sosis-sosis ikan yang dibakar dan dibalur saus. Alih-alih segera mencari tempat untuk menikmati pertunjukkan musik yang digelar, ketiganya memilih untuk nongkrong dulu di stan jajanan. Seokjin sudah menghabiskan tusukan ketiga, Jeongguk kelima. Jimin geleng-geleng kepala sambil meniup tusukan sosis ikan bakar pertamanya.

Seokjin meniup-niup uap panas dari sosisnya yang keempat. Berhenti sejenak untuk memerhatikan pamflet yang diberikan Jimin. Mengamati satu-satu nama para peforma yang tampil. Kebanyakan berasal dari klub ekstrakurikuler universitas, juga para artis underground. Menarik, pikirnya. Lalu matanya tertumbuk pada satu nama.

“Eh? Kampus kalian juga berpartisipasi?”

Jeongguk tersedak, Jimin urung mengunyah sosis yang baru saja digigitnya. Mata keduanya terbelalak selebar piring. Cepat-cepat menilik pamflet milik masing-masing. Seokjin menyerahkan botol air mineral kepada Jeongguk yang masih sibuk mengatasi batuk tapi matanya sudah fokus mencari nama kampusnya.

“Kok kita tidak beri tahu sih?” gerutu Jimin.

Jeongguk menenggak rakus air mineral. Rasa terbakar masih mendera tenggorokannya. Ia menggeleng menanggapi gerutuan Jimin. Tidak menyangka juga. Pasalnya, dia dan Jimin sama-sama anggota klub musik. Dan tidak ada yang pernah membahas soal mengisi acara atau berpartisipasi.

“Mungkin ada yang iseng mau bikin kejutan, Hyeong.”

“Jam sembilan nanti sih tampilnya. Jimin pulang jam berapa?”

“Aku boleh menginap di rumah kalian, Hyeong?”

“Aku tidak masalah asal Ibumu mengizinkan.”

“Aku telepon ibu dulu ya, Hyeong? Jeongguk-ie?”

Keduanya mengangguk. Mempersilakan Jimin yang permisi mencari tempat yang lebih tenang untuk menghubungi sang ibunda.

“Kalian kok santai sekali? Sudah merencanakan ini dari kapan?”

Jeongguk melirik sang kakak yang tengah menatapnya serius. “Apaan sih, Hyeong?”

“Katanya lagi sibuk sama makalah dan praktikum. Tapi kok malam ini malah ngajak Hyeong kencan di sini?”

“Aish, Hyeong! Bukan begitu!”

“Jelaskan kalau begitu. Jimin biasanya tidak pernah main sampai larut dan mendadak ingin menginap di rumah kita. Kalian merencanakan sesuatu, kan?”

Jeongguk memutar mata. “Dari dua minggu yang lalu. Jimin-hyeong dapat kabar duluan dari temannya yang rapper underground itu. Jadi, hari ini memang inginnya nonton pertunjukan musik sampai puas dan—mencoba untuk rileks.”

Seokjin bergeming. Terdiam. Cukup lama daripada yang diperkirakan oleh Jeongguk. Khawatir cukup menyelinap di dalam hati. Karena sungguh Jeongguk tidak mau berurusan dengan amarah sang kakak. Dia ingin menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik—apa pun—dan melepas seluruh penat dari bangku kuliah yang selama ini terasa mengungkungnya. Termasuk dari kelebat bayangan masa lalu yang masih senantiasa menghantui.

Dia Yang Disebut MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang