MALIKA

48 1 0
                                    




Kebanyakan orang hari Senin itu adalah hari tidak menyenangkan untuk memulai aktifitas, tapi bagiku tidak. Aku menyukai hari Senin karena dimana aku harus memulai hari ini dengan baik, agar satu minggu kedepan terasa menyenangkan. Ada yang melaksanakan apel pagi, upacara bendera, dan banyak hal lain untuk menyambut hari pertama di setiap minggunya. Termasuk budaya di kantorku, setiap Senin pagi, karyawan mempunyai jadwal piket untuk menyapa semua karyawan yang masuk di pintu lobi. Namaku Fasya Malika Hakim, panggilan akrabku adalah Sasa, umurku 27 tahun, dan sekarang aku menjabat sebagai supervisior di divisi Komunikasi. Aku di besarkan oleh tante dan Om ku, Orang tuaku sudah tidak bersamaku, Ibuku mengidap penyakit kanker dan meninggal saat aku umur 5 tahun. Ayahku meninggalkan kami saat aku berumur 3 tahun. Hidup memang tidak seindah yang aku bayangkan, tapi aku selalu bersyukur karena ada Tante Ika dan Om Andi yang sayang padaku. Tante Ika dan Om Andi sampai sekarang belum mempunyai keturunan, jadi mereka fokus untuk membesarkan-ku sampai aku bisa ada di posisi seperti ini. Mereka selalu bercerita alasan ibuku memberi namaku 'Malika', ketika aku sedang menangis atau sedang sedih. Mereka bilang nama Malika itu adalah seorang Ratu yang memimpin sebuah kerjaannya walaupun sang Raja ada di sampingnya, jadi ibu selalu berharap aku akan menjadi ratu di setiap kerajaanya, yang artinya aku harus hidup mandiri dan tidak boleh menyerah dan tidak bertumpu keapada orang lain. Hidup ini memang begitu pait ketika kita tidak menysyukurinya, aku bersyukur mereka menjadi peran pengganti orang tuaku. Mungkin jikalau saja tidak ada Om Andi dan Tante Ika, aku tidak tahu nasibku seperti apa. Saat duduk di bangku SMA, aku berfikir bahwa aku harus melanjutkan kuliah di salah satu UNIVERSITAS negeri ternama, tanpa harus merepotkan Om Andi dan Tante Ika, aku harus belajar segiat mungkin. Tapi rencana tuhan lebih indah waktu itu.

"Belum rezekinya, Sa. Pake jalur biasa aja." Om Andi mencoba menghibur, saat aku membuka amplop pemberitahuan dari Universitas tersebut.

"Ngga, om. Aku kerja aja. Nanti di coba lagi tahun depan." Aku mencoba tersenyum.

Saat itu kami sedang makan malam di ruang makan, Tante Ika memasak beberapa menu kesukaan Om Andi, Nasi goring ati ampela.

"Ngaco kamu, Sa. Mau kerja dimana?" Tante Ika ikut bersuara. Om Andi mengiyakan pertanyaan istrinya itu.

"Nanti Sasa coba aja tahun depan pake jalur beasiswanya, om, tan." Aku menjawab dan sedikit tersenyum.

Saat itu aku merasa bahwa tuhan memang sedang mempersiapkan hal lain, mempersiapkan yang aku rasa yang terbaik untukku. Satu minggu kemudian, aku mendapatkakn undangan interview di salah satu Universitas Swasta di kota-ku. Aku lupa dengan pengajuan berkas yang aku kirim, ternyata aku lolos dalam pengajuan beasiswa di salah satu Universitas tersebut. Dua minggu kemudian, hasil interview beasiswa terpampang di koran kota. Om Andi, pagi itu yang membuka dan membacanya. Ekspresinya datar.

"Kamu milih jurusan apa sih, Sa?" Tanya Om Andi. Tante Ika ikut nimbrung melihat isi korannya.

"Ilmu Komunikasi. Gak lolos lagi ya om?" Aku sudah pasrah. Sarapanku jadi terasa hambar.

Om Andi tersenyum. Tante Ika juga ikut tersenyum.

"Sabar ya Sa. Kamu harus sabar." Kata Om Andi.

"Iya om" Jawabku lemas.

"Kamu haru sabar, karena kamu harus puasa satu minggu. Itu nadzar kamu kan?" Kata Tante Ika menahan tawa.

"HAH? Jadi? Aku masuk om? Tan?"

Mereka berdua mengangguk bahagia. Tante Ika memeluku dengan bahagia. Aku terharu saat itu, walau memang ini bukan tujuan prioritasku tapi, aku percaya tuhan mempunyai rencana lebih baik lagi.

                Tiga tahun sudah aku menjalani kuliahku, menjalani masa-masa sulit berorganisasi,tugas akhir dan skripsiku. Aku menjalani beasiswa-ku dengan baik, IPK-ku selalu memuaskan. Setelah lulus, aku di tawarkan oleh Dekan jurusanku untuk mengajar. Aku menyanggupinya, sampai pada akhirnya aku memilih menjadi salah satu pegawai di perusahaan ini.

                Perusahaan ini menempatkanku pada divisi Komunikasi, yang artinya kita harus di wajibkan untuk supel dan ceria. Aku membawahi divisi ini sudah satu tahun setengah, mempunyai tim yang sangat luar biasa. Dua perempuan dan dua laki-laki. Mereka sangat dekat denganku, karena umur mereka juga tidak lebih jauh daripada umurku. Saat membayangkan ini semua, aku sempat tidak percaya apa yang sudah aku lalui dan aku capai sampai saat ini.

"Selamat pagi semua." Aku menyapa tim-ku. Mereka sudah ada saat aku datang. Mereka membalas secara serempak, kecuali TIwi, karyawan baru yang menjadi incaran karyawan laki-laki hidung belang di sini.

"Kenapa wi? Ko lemas begitu?" tanyaku sambal membuka laptop di mejaku.

"Hmm. Nggak kenapa-kenapa mba. Tiwi cuman nggak enak badan." Jawabnya sambil tersenyum . Nada suaranya lemas.

"Jadwal kamu hari ini ngapain? Kalo cuman training perusahaan biar Andin aja ya yang isi. Tiwi ke klinik dulu." Kataku sambil tersenyum ke arah Andin.

"Baik, Mba." Andin menyanggupinya.

"Saya ada meeting hari ini sampai makan siang, jadi nanti, siapapun itu tolong handle dlu ya kalo ada yang urgent." Kataku kepada mereka.

"Siap bu." Jawab mereka serentak.

                                                                                                ***

Salah satu alasan mengapa hari Senin, aku harus semangat menyambutnya adalah meeting di setiap divisi ini. Setiap divisi akan mempresentasikan hasil kegiatan satu minggu kebelakang dan rencana aktifitas satu minggu kedepan kepada setiap divisi lainnya. Dari divisi Komunikasi, berjalan dengan baik, aku mempresentasikan hasil kerja tim-ku, dan laporan selanjutkan nanti sekretaris Director, Mba Dian, akan merangkum dan melaporkan kepada Director perusahaan kami.

"Sekian untuk meeting hari ini. Selanjutnya, pesan dari Pak Dion, Senin depan setiap divisi mempersiapkan project yang berkaitan dengan divisinya ya, tentunya, untuk perkembangan dari perusahaan ini." Mba Dian menyampaikan hal tersebut sambil menutupi meeting mingguan hari ini. Aku langsung bergegas ke meja kerjaku, disana aku menceritakan apa hasil dari meeting tadi.

"Apa lagi ya gus untuk project kita kedepan?' Tanyaku pada Bagus. Bagus sedang mengetik, dan berpaling dari komputernya untuk menjawab.

"Kasih kita waktu aja mba, nanti besok selasa kita meeting pagi. Jadi, masing-masing menyampaikan idenya. Tinggal mba Tiwi deh yang mutusin. Gimana?" Bagus memberikan solusi. Di setujui oleh yang lain, kecuali Tiwi.

"Oke. Tiwi dimana? Masih di klinik?" Tanyaku kepada mereka.

"Masih mba. Kayaknya dia ada masalah keluarga juga deh." Jawab Fatur ngasal.

"So tau kamu tur." Timpal Andien dengan nada mencibir. Fatur membalas dengan cengengesan.

"Oke deh. Lima menit lagi, aku ke klinik sebelum makan siang, sekalian nengok Tiwi. Ada yang mau ikut?" Tanyaku kepada mereka, dan saat yang bersamaan ponselku berbunyi. Egi.
"Halo."

"Sa, aku udah di lobi ya. Kamu cepetan turun ke bawah ya." Kata Egi menjawab sapaanku di telfon. Aku melihat rekasi team-ku, mereka semua memperhatikan dengan penasaran.

"Oke, bentar lagi aku turun, gi. Tunggu ya."

Aku menutup telfon. Dan tersenyum kepada mereka lupa.

"Maaf ya. Aku lupa kalo siang ini ada makan siang bareng Egi. Nanti kalian jenguk Tiwi ya, liat kondisinya." Kataku dengan nada bersalah. Mereka semua menggodaku dan mengiyakan perintahku. Aku langsung bergegas menemui Egi di main lobby. Aku melihatnya sedang berbicara dengan resepsionist-ku. Aku menghampirinya.

"Makan siang dimana nih?" Helena bertanya sambil memasang muka menggoda kepadaku.

Egi langsung menggandeng tangaku. "Ke mall nih.Duluan ya."

MALIKAWhere stories live. Discover now