Menaruh perasaan
Hai, pada tau nggak? Dunia ini tak sesempurna apa yang kalian pikirkan, sama seperti diriku. Aku selalu bermimpi hingga saat ini, aku sadar, bahwa mimpiku terlalu tinggi. Kenapa? Karena ... Oh, entahlah?! Ada yang bilang tidak ada mimpi yang terlalu tinggi, hanya saja kamu yang malas untuk meraihnya. Double shit! Arghhh ... Aku benar-benar tak bisa mengenali diriku sendiri.
Ketika aku melambung bebas ada seseorang yang menjatuhkanku dengan ucapannya, padahal, mereka tau jika aku perasa sekali. Aku diam, salah. Aku banyak bicara, dibilang cerewet. Serba salah.
Cita-cita menjadi novelis, hobby baca novel. Lebih suka baca novel pakai handphone karena nggak punya uang buat beli buku novel. Kena marah gara-gara main HP mulu.
"Membaca mulu, kasihan matanya! "
Aku taruh tuh HP, sebel? Pasti. Seharusnya mendukung dong anak yang hobby baca, kan kebanyakan anak sekarang main handphone cuma buat sosmed-an aja. Setiap hari aku habisin waktu untuk baca novel di aplikasi yang ada di handphoneku.
Aku lebih suka diam menyendiri didalam kamar. Aku bisa dibilang pendiam sih, tapi, aku aslinya cerewet (dalam kesendirian). Kata temanku, aku suka melamun. Padahal aku lagi debat alias bertengkar dengan diri sendiri. Apa kalian berpikir bahwa aku memiliki kepribadian lain? BIG NO!
"Mawar merah untukmu. "
Perlahan bibirku tertarik ke atas menampilkan sebuah senyuman yang, ya, sedikit tertahan karena malu. Seumur hidup aku belum pernah menerima buket bunga dari seseorang, ugh, jadi pengen. Sayang banget, buket itu bukan buat aku. Hufft ... Nggak papalah ya, belum waktunya aja.
Temen cewek yang ada dihadapanku kali ini membalikkan badan yang akan membuatnya langsung berhadapan dengan sang pujaan hati, otomatis membelakangi aku.
"Buat aku? " ujarnya seakan tak menyangka. Dasar BEGO! Yaiyalah itu buat lo! Hrrr ... Gue jadi greget sendiri tau nggak?
Ok, aku menghembuskan napas pelan seranya menetralisir emosi sambil nunggu kelanjutan sejoli bucin ini. Widan menanggapi pertanyaan kekasihnya hanya dengan tersenyum sembari mengangguk tanda iya.
Lea, kekasih Widan pun menerima buket mawar biru dengan malu-malu. "Terima kasih."
Huh, Widan sama Lea. Banyak yang bilang mereka serasilah, cocoklah, ceweknya gemesinlah, dan masih banyak lagi. Awalnya aku sebel dikit sih saat tau mereka udah pacaran. Pasalnya, si Widan itu TARGET AKU. Halah yasudah biarin aja dan aku nggak nyangka banget kalau Lea bakalan mau aja diajak pacaran.
"Arva! "
"Hm."
"Lo ngelamun lagi? "
"G."
Lea menjadi muram karena emosi negatif dari aku, bodoamat.
Dhukk ...
Bahu bertubrukan dengan bahu hingga salah satu pemilik bahu tersebut hampir terjengkang bila aku tak sigap menangkap tubuhnya. Berat sekali tubuhnya, aku tak bisa lebih lama lagi untuk menahannya.
Aku menatap sinis orang yang sudah membuat Lea hampir terjengkang. "Masalah lo dengan gue, jangan balas dendam ke temen gue! "
Dia balik menatap aku sinis. "Sumber kebahagiaan lo dia, so... Gue harus hancurin sumber kebahagiaan lo donk. "
Itu menurut lo! Cih, sok tau urusan orang aja. Aku tersenyum miring mendengar penuturannya. Aku berdeham.
"Well, gue punya salah apa sampe lo segitunya ngebet ngusik idup gue? Hah? "