belati berigi tua dengan ukuran sekilan engkau lilitkan dengan seutas tali di pinggangmu
cahaya oranye sepuh memantul ke penjuru sisi akibat belatimu bersapa mentari, karat itu mungkin bisa membuat seonggok daging segar membusuk
hamba tersenyum melihat engkau berjalan tidak hanya berteman belati, setangkai mawar engkau selipkan diantara bibirmu yang berwarna merah darah bahagia
gerak kakimu semakin terdengar lantang, hambapun bergegas merapikan baju, celana, rambutku dan menghirup sendiri aroma badanku, memastikan tidak ada bau kebosanan yang masih tertinggal
engkau tepat di depanku, menampar dengan senyum, memukul dengan aroma kebahagiaan. engkau berikan mawar itu kepadaku betapa sombongnya hamba, sampai terpikir "hamba lah lelaki yang paling beruntung di jagat semesta ini "
tanganmu menghampiri telingaku, lirih suara berirama dengan nafas yang berat membentuk sepotong kalimat "aku mencintaimu" betapa tinggi sombongku mendengar kalimat yang penuh kasih manja
langkah mundurmu semakin tak terdengar lagi, begitupun dengan wujudmu yang samar-samar termakan bayangan pepohonan, kucoba raih tanganmu malah tamparan di tanganku yang kudapat, kucoba melompat merangkul makin engkau percepat langkah mundurmu
yang tersisa hanya senyummu dan luka yang engkau tinggalkan,
oh tuan putri, belatimu lebih hamba sukai, mengapa bukan belati yang engkau tancapkan hulu hati ini, belati yang penuh kepastian, menghujam dan mematikan, mengapa mawar ? mawar pengharapan yang engkau berikan dan berakhir derita yang tak berujung.
mungkin kita hanyalah fana tuan putri
tidak di takdirkan untuk jadi nyata !#coretanDOMA