Prilly menatap jalanan London yang basah. Hujan masih saja turun, membuat Prilly enggan untuk meninggalkan café yang sering ia kunjungi jika sedang merasa penat.
Gadis itu menerawang jauh keluar, mengingat kembali beberapa memori manis yang masih ia ingat betul, setiap detilnya. Pukul berapa. Hari apa. Dan tanggal berapa. Sangat terlalu manis, untuk dilupakan.
Prilly menghela napas pelan, dan menghisap satu cangkir espresso kecil yang ia pesan. Gadis itu memang penikmat kopi, terlebih kepada espresso. Walaupun espresso dihidangkan dalam gelas yang berukuran kecil, nyatanya gadis itu bisa menghabiskan espresso tersebut dalam waktu satu jam. Kata orang, espresso lebih nikmat jika masih panas. Prilly menyetujui. Tapi gadis itu tetap saja membiarkan espressonya mendingin, barulah di tandaskan.
Satu tahun menetap di Inggris, lantas tidak membuat Prilly melupakan semua kenangannya di Tanah Air. Begitu banyak kenangan yang ia ingat; terlambat datang ke Sekolah, di beri sangsi oleh guru BK, melanggar peraturan, dan sebagainya. Prilly tertawa kecil begitu mengingat masa-masa SMAnya.
Manis - pahitnya kehidupan ia rasakan saat SMA. Manis karena mendapatkan kekasih idaman semua wanita, dan pahit karena realita yang harus ia jalani. Mengingat kekasih, gadis itu menundukkan kepalanya. Kekasihnya. Pemilik takhta tertinggi di hatinya. Dan sampai sekarang, masih saja menghuni diseluruh setiap sudut ruang hatinya. Tidak ada yang mampu menggantikan. Sekalipun itu penduduk lokal Inggris yang mengincarnya sekarang. Hatinya hanya satu, dan sudah terpenuhi. Kunci hatinya, ada pada seseorang di Indonesia. Kekasihnya.
Sekali lagi, kekasihnya. Dua tahun menjalani hubungan, dan harus menerima realita bahwa ia harus berpisah demi bersekolah di Inggris. Universitas impiannya. Oxford.
Gadis itu lulus program beasiswa ke Oxford, Inggris. Satu hal yang mengharuskannya berpisah kepada sumber-sumber kebahagiaannya; orang tua, sahabat, dan kekasihnya.
Prilly tidak menyangka, bahwa berpisah dengan seseorang yang sangat ia cintai, akan sesakit ini rasanya. Jika ia bisa memilih dua-duanya, maka ia akan bahagia. Dulu, ia membayangkan bahwa berpisah untuk sementara waktu, dapat dijalankan. Realitanya, semakin kesini, semakin jarang intensitas komunikasinya bertambah.
Waktu juga menjadi halangan bagi mereka. Dua benua. Dua waktu. Tujuh jam perbedaan antara London-Indonesia. Jika Indonesia sudah pagi, maka di London baru tengah malam.
Hal yang menjadi kendala untuk saat ini. Sisi positifnya, gadis itu dengan semangat belajar agar ia hanya membutuhkan waktu 3,5 tahun untuk kuliah. Dan segera kembali ke tanah kelahirannya.
Tentang kekasih, Prilly amat sangat beruntung. Kenapa? Karena kekasihnya saat ini, dengan ikhlas dan kuat melepas kepergian gadis itu ke London. Eropa. Sosok itu dewasa. Memirkannya dengan matang-matang, sebelum akhirnya membuat keputusan.
Hal terakhir yang di dengar gadis itu tentang kekasihnya adalah; sedang mempunyai project dengan perusahaan yang sangat terkenal. Akan mewarisi perusahaan Ayahnya. Pratama. Seorang pebisnis yang kondang, dan disebut-sebut sebagai Raja Bisnis oleh rekan-rekannya.
Prilly bersyukur, karena kekasihnya sudah mapan. Mampu berdiri sendiri, di kakinya, tanpa bantuan Ayahnya. Prilly ingat, kekasihnya itu sangat-sangatlah benci dengan Bisnis. Karirnya di seni. Musik. Cita-citanya sebagai musisi. Dengan susah payah ia kejar impiannya, namun dengan sangat mudah Ayahnya mematahkan impiannya sejak kecil.
Disaat SMA, Pemuda itu mengambil jurusan IPA. Bukan IPS. Itu yang membuat Prilly bangga akan padanya. Mau menerima resiko apapun. Tidak dibekali hal-hal berbau bisnis, tapi nekat mengabulkan permintaan Ayahnya; menggantikan beliau jika beliau pensiun.
Prilly tersentak saat merasakan bahunya ditepuk seseorang. Gadis itu memang membelakangi pintu masuk, dan duduk di pinggir ruangan, dan dekat dengan jendela. Prilly menengok.
Degh.
Gadis itu membeku. Tidak berkutik ketika melihat siapa yang menepuk bahunya tadi. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Prilly tidak memperdulikan sekitar, ia hanya menatap lurus orang tersebut. Seakan tidak percaya. Ia berdiri. Masih sama. Masih sama. Tingginya hanya sebatas dagu orang tersebut. Matanya hitam pekat, kulitnya putih, poni rambutnya jatuh menutupi keningnya; akibat hujan.
"Apa kabar?" Tanya orang tersebut, dan tersenyum penuh makna. Prilly hanya mampu mengangguk, sebagai jawaban 'iya, aku baik-baik saja' . Lidahnya kelu. Tidak sanggup untuk berbicara.
Diaturnya napasnya yang tidak teratur. Tanpa sadar, airmatanya yang ia tahan saat melihat orang tadi, akhirnya leleh juga.
"Ali," ucapnya pelan. Orang tersebut tersenyum, menghapus airmata Prilly dan mendekapnya dengan erat.
Cinta itu ada. Cinta tidak bisa dilihat, namun dirasakan. Cinta tahu kemana ia akan pulang. Cinta tahu dimana pemberhentiannya sejenak, sebelum beranjak ke jenjang paling tinggi. Cinta akan pulang dengan sendirinya, jika cinta tahu dimana 'rumah'nya yang sebenarnya.
***
Halooo! Ini cuma buat selingan aja kok buat cerbungnya gimana? Ada komen? Atau ada saran? Kalo ada komen aja yaaaa ;)