D I A
"Tentang Cinta dan Dirinya"
***
Penghujung Desember, 2019
Kisah ini lahir bagai hembusan angin di sore hari. Terasa damai dan indah layaknya simponi yang sederhana.
Aku mengenalnya dalam gelap ketidaktahuan. Menatapnya pertama kali dalam bingkai kacamataku yang kusam dengan raut wajah yang penuh kebingunan.
Takut adalah rasa pertama dan terakhir yang menemaniku dalam kisah ini. Mengenalnya mungkin penuh perjuangan tetapi memahaminya lebih penuh penderitaan.
Awal bertemu sudah berjalan 'tidak baik-baik saja', mungkin tepatnya, kejadian aneh yang mungkin terasa manis. Pertemuan di waktu matahari bersinar lembut menerpa wajahnya yang basah oleh air wuduh.
Sore itu, aku mengetahui satu hal. Kami memiliki persamaan yang cukup unik. Kami sama-sama melihat dunia dengan bingkai kaca yang bertengger di wajah. Ya, Dia terlihat sangat serius saat memakai kacamatanya.
Pertemuan kedua dan seterusnya mengalir bagai ribuan episode yang penuh perjuangan. Aku bahkan nyaris lari dan menyerah dengan semua itu. Perjuangan itu bukan seperti yang kalian bayangkan. Itu adalah tanggungjawab yang harus Aku selesaikan. Dan takdir mengirim Dia untuk terlibat dalam urusan itu.
Aku membenci keadaan itu bahkan berniat lari saat itu juga. Semua perjuangan itu terasa mudah untuk dikenang namun sulit untuk diulang. Bagai kopi pahit yang tersaji untuk si penyuka teh yang manis.
Diabaikan, dimarah dan dipermalukan adalah contoh kecil dari perjuangan itu. Awalnya Aku sedikit syok, tapi akhirnya Aku cukup terbiasa dengan hal itu. Tapi, dititik ini Aku tak ingin berdusta, Aku membenci Dia mulai saat itu.
Kebencian itu bertambah seiring berjalannya waktu. Aku membencinya bahkan selalu menangis saat semua yang kurasa cukup melelahkan. Lingkaran masalah ini membuat Dia terkesan jahat dan kejam. Atau mungkin Dia memang jahat dan kejam??!
Hingga pada puncaknya, saat Aku sudah dititik akhir kesabaran dan tubuh ini pun sudah tak bisa diajak bekerja sama, Aku benar-benar berada disaat terendah kesehatanku. Sementara tanggungjawab ini masih belum selesai.
Saat itu, pertemuan yang kesekian kalinya terjadi lagi. Seperti biasanya, Dia selalu memasang wajah serius yang entah sejak kapan membuatku kesal setiap menatapnya.
Tapi kali ini, Dia menatapku lalu tersenyum... bukan senyum meremehkan seperti dulu. Tapi, Dia tersenyum tulus dan mengatakan "Tersenyumlah..!" Dan saat itu juga, Aku terdiam.
Aku bersumpah, saat itu kebenciaan dalam diri ini bertambah berkali-kali lipat. Sebab kini, Aku mulai terbiasa tersenyum saat memandang Dia.
***
Awal Februari 2020
Dia pergi.
Aku tau, semua ini akan menjadi kenangan yang lapuk dan tersimpan diantara lembar kenangan masa lalu yang kusam. Ya, takdir seakan memainkan kisah ini untuk tak berpihak kepadaku.
Rasa benciku padanya perlahan pudar dan melebur menjadi rasa yang sederhana-Aku kini merindukannya. Namun kini dia tak lagi ada. Sosoknya tak lagi terlihat oleh bingkai kacamata yang sering kukenakan. Dia benar-benar menghilang dari pandanganku, seperti harapanku dulu saat membencinya setengah mati.
Aku tau, hati ini telah terpikat oleh tatapannya yang teduh. Tatapan mata yang seakan melihat diriku dengan sudut pandang yang berbeda. Dia, menatapku dengan sorot mata penuh penghargaan. Tak seperti yang lainnya yang sering kali merendahkan diri ini lewat tatapannya yang mencela. Aku tau, Dia memang telah berbeda dalam pandanganku sejak Dia menyuruhku tersenyum kepadanya kala itu.
Sebenarnya aku membenci rasa ini, rasa aneh yang begitu membingungkan. Aku berharap ini semua akan berlalu seperti layaknya kisah yang perlahan menyatuh dengan kenangan masa lalu. Kenangan yang hanya menjadi kepingan cerita kosong yang akan terselip dalam memory.
Meski aku tak akan menyangkal bahwa ini mungkin akan menjadi kenangan manis, yang dapat mengukir senyum kala diri ini mencoba untuk mengingatnya lagi. Miris, karena ku rasa ini terdengar sangat berlebihan.
***
Pertengahan Februari, 2020
Aku tersadar oleh kenyataan.
Kenyataan datang menghampiriku. Kenyataan yang menyadarkanku tentang sesuatu yang salah dari rasa ini, bahkan mengenai kisah ini.
Mengenai Dia.
Dia, tidak seperti yang aku bayangkan. Tidak. Tidak akan pernah seperti yang selalu aku bayangkan. Dan saat ini aku sadar, dia benar-benar telah menjadi kenangan. Menjadi serpihan kecil dalam ingatan.
Semua tentangnya sudah berbeda. Ada hal yang membenarkan rasa ini. Ya, rasa kecewa yang sangat pahit untuk ditelan. Dia pergi, dengan semua fakta pahit yang datang setelah kepergiannya. Aku,... kurasa Aku lebih tepat untuk membencinya saja. Dengan begitu, Aku bisa menyelamatkan diri ini agar tak terluka.
Karena, aku tak pantas untuk semua rasa ini.
***
D I A
"Tentang Cinta dan Dirinya"
Kisah yang pada akhirnya, menjadi kenangan untuk diri ini, mengenai dirimu dan cinta semu ini.
Terimakasih Cinta, untuk segalanya.
END
***
SULAWESI SELATAN. FRIDAY, 5 JUNE 2020.
Arthropoda17