Prolog

357 45 119
                                    

•●◉✿◉●•✿•●◉✿◉●•

Ketika jemari tanganmu leluasa meraba udara kosong dari balik jendela, mengayun indah, memberi lukisan di kanvas transparan yang sebenarnya tergambar jelas ukiran nama dari hatimu. Sudut bibirmu terangkat, matamu berbinar menatap entah ke ujung mana pada langit tak bertepi.

Ketika semburat jingga menyapamu, kau tetap sama, memandang takjub dengan binar indah. Lalu matamu terpejam, seolah membagi segala rasa pada senja yang ikut terbit bersama senyuman.

Entah pagi biru, senja jingga, malam gelap, bahkan ketika awan-awan tak mengizinkanmu menyapa mentari, kau masih sama, selalu menyiratkan sejuta rasa tanpa ragu.

Kini, ketika kau biarkan mentari mengelus puncuk kepala, hanya ada jejak-jejak bisu yang merasa iri, menatap nanar pada semburat senyummu yang berbeda, juga binar matamu yang pergi entah ke mana.

Kau yang selalu membiarkan hangatnya mentari memelukmu. Namun, kau juga membiarkan hujan malam membuat hatimu terjaga dan kedinginan.

Di gelap malam yang sunyi, kau mengadu, merintih, berteriak, membiarkan rembulan malam melihatmu yang sebenarnya tak ingin terlihat. Sesak, takut, kalut, menyatu menjadi kau dalam kesunyian.



•●◉✿◉●•✿•●◉✿◉●•




Tes... tiga, satu, dua, empat.
Aku siapa? Entahlah..., hanya manusia yang suka bernapas.
Hanya itu saja.



Maaf
Terima kasih
Sampai jumpa

Langit EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang