Bab (1) Dia

269 32 148
                                    


┄┄┈◦•●◉✿◉●┈•┈❦┈•┈●◉✿◉●•◦┈┄┄

22.17

Senandung malam mengalun damai. Kibasan angin menyapu lembut wajahnya. Bulir bening tak lagi terpenjara dalam binar matanya, mengalir dengan tiap tetes yang entah dengan berapa banyak rasa. Tatapannya menyudut tanpa arah, kian meredup dan terpejam. Cukup, tak perlu luruh kembali dari mata indahnya.

Di balik jendela kamarnya menjadi saksi tiap malam kala mengadu. Bersama tumpukan rapi lembar putih yang terhias jejak goresan. Menit berganti jam, berlalu begitu cepat. Tak tahu seberapa jauh ia menyelam sampai tenggelam dengan sisa-sisa dirinya.

"Hey."

Entah enggan atau memang telah tenggelam dalam dunianya sendiri, hingga suara nyaring itu seakan tak ada. Masih sama, bahkan satu-dua langkah kaki tak sedikitpun mengusiknya.

"Tuli, ya?"

Mata gadis cantik itu terbuka perlahan, ia menghembuskan napas—seolah baru saja sadar. Ia mengusap wajahnya sejenak sebelum berbalik sempurna. Gadis bermata hitam dengan tinggi yang tak jauh beda dengannya menatap dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Besok kamu sekolah, jangan tidur kemalaman," ucap gadis bermata hitam itu dengan nada dingin.

"Iya." Hanya itu, tak ada jawaban lain.

"Aku gak mau telat hanya karena kamu kesiangan," tambah gadis tadi dan langsung melenggang pergi.

Gadis cantik berambut sebahu itu berdiri di tempatnya sejenak, menatap punggung manusia tadi hingga hilang dari ambang pintu. Ia pun beranjak ke meja belajar. Satu-persatu lembar kertas putih bertumpuk rapi, menyisakan lembar kosong berhias bercak bening. Tanpa ada kata, menyimpan semuanya di laci dan menutupnya rapat.

Jendela kayu ber-cat putih kembali mencuri pandangnya. Tak ada raut bosan untuk sekedar berdiri menyita sunyi, beradu dalam dunianya sendiri. Matanya menatap penuh binar pada hamparan langit cerah tak bertepi, dan kembali terpejam damai. Dari menghirup penuh dan menghembuskan napas, jelas terasa lega entah karena apa.

Kerlip bintang memaksanya membuka mata. Cahaya rembulan menarik paksa sudut bibirnya. Cerah langit malam seolah dekat tuk digapai. Tangannya terangkat perlahan dengan leluasa menuntun jemarinya meliuk di batas udara, mengayun seirama garis matanya.

"Selamat malam ...," ucapnya di akhir benang gambar transparan.

Ketika lututnya sendiri tak sanggup menjadi penopang, ketika sesaknya semakin menyeruak, ketika air indah dari matanya tak tahan tuk berontak, hanya dari tiap malamnya yang seolah mampu memeluknya, merengkuhnya, mengelus dirinya. Tiap-tiap yang tergambar di langit seakan membawanya menari—ikut mencengkeram udara hampa tak bertepi.

***

Cahaya mentari masih enggan menyapa. Butiran rintik kecil mulai berjatuhan dengan angin yang berhembus pelan. Indah, sambutan langit sendu itu terasa indah di mata gadis cantik berusia lima belas tahun. Ia berdiri di depan kelasnya, menatap takjub pada hamparan luas berhias awan kelabu.

Sebut saja gadis pengagum langit. Ia kagum pada tiap elok karya di kanvas biru. Entah ketika mentari menyapa dengan bebas, awan mendung merengkuhnya, senja datang menemani sorenya, atau saat kerlip bintang memaksanya membuka mata—itu semua indah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Langit EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang