BAB I Part 001 - Pulau Sumatera

53 6 0
                                    

Tahun 23XX

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tahun 23XX

.

.

.

Kalian tau pulau Sumatra? Yang berbatasan dengan Teluk Benggala dan Selat Malaka. Jika tau, maka aku tak perlu menjelaskannya panjang lebar. Pulau Sumatra, aku tak tau mengapa dinamakan demikian. Bahkan buku atau pencarian canggih pun tak ada jawaban yang meyakinkan tentang asal usul nama pulau ini.

Jika kalian mengetahui pulau Sumatra, maka kalian mengetahui pulau Jawa. Yang dulunya menjadi pusat pemerintahan negara. Itu ratusan tahun yang lalu. Sekarang pulau Jawa sedang dalam masa pemulihan. Mengapa ? Menurut sumber yang aku baca, pulau itu tenggelam secara keseluruhan ke dalam laut. Tidak terlalu dalam, hanya beberapa senti meter saja. Namun itu sungguh membuat laju perekonomian yang sedang berjalan pesat terhambat. Dan akhirnya pemerintah memutuskan dengan cepat untuk memindahkan seluruh penduduk serta tatanan pemerintahan ke pulau Sumatera.

Bagaimana dengan pulau Kalimantan? Aku tak tahu. Yang tertulis di buku atau pun pencarian canggih, hanya itu. Jadi kalian jangan memberiku pertanyaan aneh.

.

.

Namaku Cut Meutia. Mungkin telat untuk memperkenalkan diri. Tapi kata pepatah nenek moyangku, 'tak kenal maka kenalan'. Seorang gadis berkepala dua yang sibuk dengan perkerjaannya. Tidak ada kisah percintaan yang terjadi selama aku hidup. Dan mirisnya aku juga harus kehilangan cinta dan kasih sayang kedua orang tuaku.

Bunyi grasak-grusuk mengganggu indra pendengaranku. Membuat cuplikan kenangan tentang masa lalu-ku menguap begitu saja. Meja seberang sana memang tak pernah diam. Bahkan saat semua orang sedang tidak melakukan perkerjaan mereka. Meja di sana selalu saja ribut. Dan sialnya aku berada tepat di depannya.

"Cut, apa kau siap? Sebentar lagi evaluasi kerja." Seorang rekan kerjaku bertanya sambil memoles kukunya dengan warna biru langit.

Aku hanya terkekeh pelan, lantas menghembuskan nafas panjang dan berat. "Aku siap kak. Tapi ya, bosan sekali dengan tugasku kali ini."

Dia melirik sekilas, menaikkan alisnya sedikit lalu melanjutkan mewarnai kukunya. "Kenapa? Apa karena klienmu itu seorang kakek tua?"

Aku mematikan dator, komputer tanpa hardfile yang besar hanya layar tipis dari hologram. Menghela nafas dan bangkit sambil membawa beberapa dokumen penting. "Yah, tidak sepenuhnya begitu. Tapi, sebagian besarnya. Iya."

Dia hanya tertawa, mematutkan kembali cat kukunya, dan berdiri. "Baiklah. Ayo kita ke ruangan rapat!"

.

.

Hujan turun dengan derasnya sejak dua jam yang lalu. Membasahi jalanan kota dan gedung-gedung tinggi di pusat kota. Di langit sana, tak ada secercah cahaya matahari. Hanya terlihat gumpalan hitam yang pekat.

Para pedangang kaki lima yang biasanya berdagang di pinggiran trotoar, memilih berteduh. Ekonomi dinegara ini memang sudah membaik dari berpuluh tahun yang lalu. Dari negara berkembang menjadi negara maju nan makmur. Macan asia, julukan yang sejak zaman nenek moyang, semakin membuat para generasi muda gencar untuk menandingi negara maju lainnya.

Teknologi-teknologi canggih yang diluar batas nalar manusia, juga berkembang pesat. Dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Pasar, stasiun, dan perumahan perut bumi. Membuat mata tak bosan-bosannya memandang, mengagumi keadaan kota sekarang ini. Mungkin kalian akan kagum awalnya, sampai kalian melihat daerah sudut kota. Perumahan kumuh dari puing-puing pembangunan, berdiri kokoh dengan jumlah yang sangat banyak.

Ini yang selalu menjadi permasalahan tiap negara. Semuanya boleh maju dan berkembang, tapi pasti saja ada kaum tertinggal. Rakyat miskin yang tak mendapatkan tempat tinggal layak, bahkan mencari sesuap makanan pun susah untuk mereka.

Aroma latte dan berbagai macam kue cukup membuat perutku keroncongan. Cafe Du pain, menjadi cafe pilihanku hari ini. Dari balik jendela cafe yang berembun, aku menatap kesibukan kota yang tiada kenal lelah. Para pedagang yang tadinya berteduh, kembali kedangangan mereka dan memilih pulang ke rumah dengan keadaan basah. Orang-orang berlalu lalang di atas trotoar dengan mantel panjang mereka yang menjuntai ke bawah.

Alunan musik piano klasik menemaniku sore hari ini. Chopin Prelude 'Raindrop' op. 28, yang dimainkan dari alat musik digital menggema di seluruh penjuru cafe. Musik yang bagiku sangat serasi dengan suasana sore ini. Dengan hujan yang masih membasahi di luar sana, kepadatan arus lalu lintas dan penduduk yang memadati jalanan dan trotoar kota.

Bulan ini, kota memasuki musim penghujan. Beberapa tahun yang lalu, di sistem sirkulasi hujan tak beraturan. Membuat para petani tak bisa menentukan kapan musimnya cocok tanam dan kapan musim panen. Dan itu membuat pasokan bahan makanan dan bahan ekspor menurun drastis. Beruntung tak lama setelah kerugian besar-besaran itu, para peneliti menemukan solusinya. Membuat sistem sirkulasi hujan kembal berjalan secara normal.

Aku menghembuskan nafas panjang yang sekian kalinya. Hari ini cukup berat bagiku setelah evaluasi kerja. Bukan tentang kinerja kerja ku yang menurut. Namun klienku yang membuat perkerjaan ini semakin rumit. Klien dengan umur kepala lima, bahkan dia sudah mempunyai 4 cucu. Apa yang akan dia lakukan diumurnya yang semakin mendekati tuhan? Ah, ya sudahlah. Mungkin saja ada gerak-geriknya yang luput dari pengamatanku sehingga, dia masih dicurigai.

Langit di atas sana masih hitam pekat. Seolah ia tak ingin pergi dengan cepat dari kota ini. Aku kembali menyesap macchiato dan sesekali memandang keluar jendela. Terdiam, mencerna kejadian apa yang barusan aku lihat.

Brakk.

Itu cukup keras. Ya aku akui itu. Tanpa sengaja aku mengebrak meja, membuat semua orang yang berada di dalam sini memandangku. Tak ada waktu untuk meminta maaf dan kembali duduk dibangku-ku. Di luar sana, ada yang membutuhkanku.

.

.

"Hei, apa yang kau lakukan?" Aku tersenyum, melepaskan tangan yang hendak memukul anak kecil itu.

"Kau baik-baik saja?" Tak acuh dengan tatapan jengkel dari wanita gendut bermake up tebal. Aku memperhatikan anak kecil berbaju kusam yang basah dan dia hanya tersenyum menjawab pertanyaanku.

"Apa yang dia curi darimu? Apa segini cukup untuk kau membelinya lagi?" Aku menyodorkan satu dari beribu kartu hitam yang ku-punya. Dia menatapku jengkel dan dengan angkuhnya, dia berjalan melewatiku bersama dengan 2 pelayannya.

Aku menatap anak kecil itu. Memakaikannya mantel anti air cadanganku. Mensejajari tinggiku dengannya. Lantas tersenyum kepadanya, "apa ada yang sakit?"

Lagi-lagi dia hanya tersenyum. Memegang pipiku, lalu bagian ubun-ubunku dan menunjuk diriku tepat di ujung hidung. Apa yang dia lakukan?

"Namaku Loey. Nama kakak, pasti Cut Meutia."

.

.

.

TBC

Chanyeol EXO as Loey and Atash Phoenix

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chanyeol EXO as Loey and Atash Phoenix

RUNTUH | PCYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang