Deep Inside

0 0 0
                                    

“Nora! Nora!”
Suara Menna. Seingatku itu suara Menna, salah satu dari tiga sahabatku.

Perlahan kukerjapkan mataku yang berair. Entah apakah aku baru saja menangis. Cahaya yang masuk ke mataku terasa sangat menyilaukan. Tapi aku tak salah lagi. Di sampingku sudah ada Riju, Yuka, dan Menna.

“Hey, Nora. Ayo bangun! Kau tak mau ketinggalan acara mendaki kita kan?” kata Riju.

Kubenarkan posisi dudukku di ranjang ini. Hey, ini bukan tempat tidurku. Kulihat sekeliling ruangan ini. Di setiap sudut terdapat sebuah hourglass yang mulai mengisi. Ada satu meja rias di sisi kanan ranjang dan satu almari besar di sudut yang berseberangan. Ada lagi yang menarik perhatianku. Sebuah dreamcatcher raksasa menghiasi sisi kiri pintu. Dimana ini? Bagaimana aku bisa sampai di sini?

Kualihkan pandanganku pada kedua sahabatku. Kini mereka tengah sibuk mengemasi perbekalan untuk mendaki. Kulihat Riju mengambil syal navy dari almari.

“Kalau kau ingin ikut kenakan ini atau kau akan membeku. Ayo, bergegas!” kata Riju sambil melemparkan syal padaku.

Pendakian dimulai dengan segudang pertanyaan di benakku. Jujur, ini kali pertama aku mendaki. Semakin lama, medan yang kita tempuh semakin menanjak, semakin curam, semakin berbahaya. Mulai dari tanah becek, batu-batu kerikil, hingga hewan-hewan berbahaya seperti ular yang kadang melintas.

Saat ini Menna yang memimpin jalan disusul Riju, aku, dan Yuka di garda belakang. Sambil tetap memperhatikan langkah, gurauan-gurauan ringan mengiringi perjalanan kami. Hingga..

BRUSSS....

“Aaaaa!!!”

Tanah pijakan Yuka runtuh. Untung saja lengan Yuka masih sempat kuraih. Berat memang menahan tubuh Yuka agar tidak terjatuh ke jurang terjal. Tapi aku tak akan melepaskannya.

“Riju! Menna! Bantu kami! Bantu aku menarik Yuka! Cepat!” teriakku parau.

Tak ada sahutan dari mereka. Kutolehkan pandanganku ke arah tempat Riju dan Menna tadi berjalan. Mereka masih disana, berdiri dan tak bergeming melihat aku dan Yuka yang kepayahan. Jelas saja aku kesal.

“Riju! Tolong kami! Menna! Apa yang kau lakukan?!” teriakku berang.

Perlahan mereka mendekat ke arahku dan Yuka.

“Lepaskan saja Nora. Ayo! Perjalanan masih panjang. Tinggalkan saja dia.” Kata Menna lirih.

“Kalian gila?!! Yuka sahabat kita selamanya!”sahutku.

Mereka tak menggubris ucapanku. Yang ada mereka semakin melebarkan senyum dan menghembuskan napas berat, membuatku jengkel.

Kulirik lengan Yuka yang masih dalam genggamanku. Yuka tersenyum. Tidak sadarkah nyawanya sedang diujung tanduk? Segera saja kutarik Yuka perlahan ke atas. Namun, semakin kutarik tubuh Yuka semakin ringan. Pandanganku mengabur. Yuka menghilang perlahan meninggalkanku yang penuh tanda tanya.  Riju dan Menna duduk disampingku dan menggenggam erat kedua tanganku.

***

Titik MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang