Matematika! (0)

20 1 0
                                    

Kalender rumah baru saja terbuka di halaman Mei. Tapi aku belum juga mendaftar seleksi beasiswa itu. Padahal pendaftaran akan ditutup di minggu pertama bulan ini.

Sebenarnya, SMA yang menawarkan beasiswa 3 tahun ini bukan sekolah yang aku ingin masuki. Sedari dulu aku ingin melanjutkan pendidikan ke suatu sekolah swasta. Sekolah idamanku ini juga menawarkan beasiswa 3 tahun. Tapi, sayang, Ibu kekeuh tidak membolehkanku sekolah di sana.
Ibu bilang, “Jangan sekolah di sana, masih swasta. Di SMA ini saja, deket, ada seleksi beasiswa juga,” sambil menunjuk brosur yang sedang ia pegang. Aku yang memang tidak suka berdebat hanya meng-iyakan permintaannya.
Tapiii.. Bu, aku jadi gak bisa ketemu sama Mas Jo di SMA itu! Ugh, aku tetap menginginkan bisa satu sekolah dengan gitaris band lokal yang aku kagumi sejak setahun lalu.
Mas Jo itu panggilan manggungnya. Kalau nama aslinya akupun belum tahu. Dia gak ganteng-ganteng amat sih. Tapi kemampuannya memainkan gitar membuatku tak pernah bosan mengagumi sosok gitaris itu. Walaupun aku tidak pernah melihat secara live ketika ia manggung, tapi aku selalu setia menunggu update kiriman video Mas Jo di instagram.
“Salsa! Niat bantuin masak gak, sih!” teriak ibu membuyarkan lamunanku tentang Mas Jo.
Ya ampun! Aku lupa sedang memasak tumis buncis. Matilah aku! “Iya, Bu, sebantar!” segara aku kembali ke dapur.
“Cepet ambil telurnya,” perintah ibu. Aku mengangguk, lantas mengambil sebutir telur di kulkas.
“Biar aku yang lanutin masaknya, Bu,” kataku setelah menyerahkan telurnya ke ibu.
Ibu memberikan sebuah kain sebagai pembatas antara kuping wajan dengan tanganku. “Biar gampang mbolak-mbalik buncisnya.”
Sebelum pergi, ibu bilang lagi, “Awas, jangan sampe gosong. Selesaikan dulu masaknya, baru kerjain urusan lain.”
“Iya,” jawabku. Fokusku kini kembali ke buncis lagi. Masalah SMA kupikirkan nanti setelah masak selesai.
Sebenarnya bisa saja aku memilih sekolah di SMA favorit yang berada di kota, agar nilai ijazahku yang 35 itu tidak mubazir. Ketika guru Matematika-ku mengetahui nilai ujianku yang bertengger menjadi nilai terbaik di sekolah, dia langsung menyarankan agar aku melanjutkan sekolah di almamaternya—SMA favorit kotaku. Tapi mengingat akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit, aku memilih di SMA pilihan ibu saja.
Meskipun penulis novel favoritku pernah memposting kicauannya di twitter yang—aku lupa kalimatnya lengkapnya bagaimana—intinya adalah bahwa orang tua punya tanggung jawab atas keputusannya—bikin anak, which is menyayangi, mendidik, termasuk membiayai pendidikan anaknya, tapi aku juga punya kewajiban untuk menghargai keinginannya untuk menyekolahkanku di SMA pilihannya.
Akhirnya setelah membaca ulang brosur SMA pilihan ibu, aku kemudian menyiapkan segala persyaratan mendaftar. Setidaknya di sana aku bisa mengikuti ekstrakurikular yang aku minati

Matematika!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang