Matematika! (1)

9 0 0
                                    

Matematika! (1)

"Ini gimana, sih?"

Kok pelajaran SMA gini banget, sih! Susah. Mumet. Pusing kita!

"Tadi Bu Guru bilang lebih dari min satu, Mal," kata temanku, Oca, bawel banget dari tadi ngerjain latihan soal yang dibuat tugas sama bu guru.

"Tapi, barusan aku maju nanyain ke bu guru hasilnya itu kurang dari, bukan lebih dari!" jawab Mali, namanya Malisa, sih, tapi kebanyakan orang kalau manggil orang lain yang punya tiga huruf vokal susah, jadi kupanggil Mali saja.

Back to Math.

Gimana gak mumet, bu guru eror apa gimana. Masa dari sumber yang sama, jawabannya jadi beda, sih.

"Bu guru juga manusia," kataku lelah.

"jam 9 dikumpulkan di meja Ibu, ya," perintahnya, menoleh ke arah kami, lalu kembali lagi kepada setumpuk tugas di mejanya.

Aku menghela napas. Jam 9 itu tinggal 10 menit lagi, Bu. Tapi satu soal ini belum ada jalan keluarnya. Huft..

Dari balik punggungku, Ilham melangkah ke depan. Lihat! Dia pede banget mau ngumpulin tugasnya. Sedangkan aku dan teman-temannya masih bingung memikirkan soal nomor 5 ini. Asem emang.

Mali mencolek bahuku, kebetulan dia duduk di belakangku. Jadi formasi bangku kami itu beda dari biasanya. Satu kelas ini sudah di-setting untuk kami duduk single, sendiri-sendiri, ya gak punya istilah teman sebangku, begitu.

"Kok Ilham ngumpulin duluan, sih?! Ini kita gimana?" tanya Mali.

Aku hanya mengangkat bahu, menurunkannya lagi. Menggerakkan bibir dengan gerakan kata, "Gak tahu."

Perempuan berkulit coklat itu mengerucutkan bibir. Huh, kukuncir saja bibirmu, Mal!

"Ayo, yang sudah selesai bisa dikumpulkan," kata bu guru dari depan.

Memilih menenggelamkan wajah di lipatan lengan di atas meja sepertinya adalah pilihan terbaik.

[Matematika!]

Siang ini warung Bu Harjo tak seramai pagi tadi. Iyalah! Mana ada nasi megono siang hari begini.

"Laper banget, makan apa, ya?" tanya Oca. Keluhannya selain tentang pelajaran eksak juga karena perutnya yang minta segera diisi. Heran deh, anak doyan makan gini kok bisa ya gak gendut gendut.

"Ca, kamu makan banyak tapi kok gak pernah gendutan, ya," kataku, berharap keluhannya tentang makanan sedikit teralihkan.
"Gak tahu juga. Memang sudah dari sononya kali, ya." Kami menoleh ke arah warung sebelah Bu Harjo. Secercah harapan muncul. Makasih Pak Tono! Akhirnya perut akan segera diisi. Bakso, we're coming!

"Pokoknya aku mau beli baksonya, sama mi, gak ..."

Aku menarik tangan Mali sambil lari. Tinggalin saja itu Si Oca yang sudah laper tapi malah ngoceh sendiri.
"Heh, tungguin!" teriaknya di belakang sana.

Gak denger, aku laper.
"Pak Tono, pesen bakso dua ya." Langsung pesen saja lah, ya, sudah lapar soalnya.

Oca datang. "Ih, aku pesenin sekalian dong." Aku menoleh ke arahnya.
"Tinggal pesan aja sih, Ca. Tu, sama Pak Tono," kata Mali dengan tampang sok kalemnya. Oca mencebik. Yaelah, Ca, tinggal pesen saja deh, gak usah sok ngambek.

Kami lalu duduk di kursi gak jauh dari warungnya Pak Tono.

Kalau kalian bingung me-meta-kan kantin kami, biar aku jelasin. Kantin sekolahku itu gak luas banget, tapi gak bikin napas sesak juga. Bangkunya dari besi, tapi kalau digeser gak berderit sampe bikin kuping sumpek. Ya, enaklah buat makan di jam istirahat kedua. Aku gak belum pernah ke kantin di jam istirahat pertama sih. Soalnya teman-teman pada ngajak shalat Dhuha. Gak, bukan sombong apa gimana ya. Hanya memberitahu kalau aku memang gak tahu kondisi kantin di jam 9, itu saja.

Jam 12 sampai setengah satu kami habiskan hanya dengan mengobrol setelah kami tandaskan seporsi bakso sampai kuahnya pun habis. Make a conversation dengan mereka memang suka lupa waktu. Jam tangan yang kupakai di tangna kiri menunjukkan pukul 12.15. Sebentar lagi lah ya, tanggung ini.

"Jadi, Mona udah ditawarin Bu Nurma buat ikut olim Fisika, ya?" tanya Mali.
"Iya katanya," jawabku singkat.
"Tahu dari mana?" tanya Oca.
"Sumedang." Keluar saja begitu dari mulut. Lihat deh, Ca, mukamu jelek kalo di-prank. "Hahaha.. bercanda doang. Tadi aku diceritain sama Bintan. Dia juga bilang kalau sebentar lagi mau ada yang diseleksi buat ikut olim Bio," jelasku.

"Lah, cepet banget sih. Baru kelas UTS-nya." Aku mengernyit, bukannya kalau perlombaan bergengsi itu selalu diadakan akhir semester ganjil, ya.
"Kan memang begitu, Ca. OSK-nya memang selalu diadain di semester genap."

Lalu mereka berdua ber-oh panjang. "Nah, mengerti kan, Rosya Nurina, Malika E.?"

"Menge-"

"Malika Egista, bukan E doang!" Itu, kan! Pengin banget aku dandanin muka datarnya Mali. Hahaha. Kami, aku dan Oca tertawa, tidak peduli sesebal apa Mali sekarang.

Saat kami bertiga sudah beralih topik kepada novel terbitan terbaru oleh penulis favoritku, seseorang duduk di depan kami. Ilham? Ilham yang tadi pede banget ngumpulin tugas Matematika pertama saat kami sedang pusing banget mikirin tanda yang pantas disandingkan dengan angka minus satu itu. Ngapai-

"Hai, Ca," sapanya. Oca mengernyit, Tak urung dia juga membalas hi-nya Ilham. "H-halo."

Begitu saja. Ilham lalu mengalihkan bola matanya ke arah ku. Hng?

"Sal-"

"Ya?"

"Sa," lanjutnya. Hah. Pasti begini, heran deh aku. Manggil sepatah nama saja gak masalah kan?

"Iya, kenapa" tanyaku tak sabar.

"Bu Dinda nyuruh kita ke ruang guru," katanya.

"Ngapain?" Dia hanya mengedikkan bahu. Lha, kenapa tadi gak tanya sekalian sih?! Bikin penasaran saja.

"Oke. Sekarang? Yuk," ajakku kemudian.

"Nanti, habis bel masuk." Ooh. Bilang dong dari tadi.

Aku mengangguk. Dia masuk duduk manis di bangku seberang. Mau apa lagi sih ini orang?

"Balik sana, apa masih duduk di situ?" tanyaku.

"Iya, sana balik. Jam segini lo masih mau jajan? Atau mau traktir gue jajan?" ini suara Oca.

Ilham di depanku tersenyum. "Jangan makan banyak-banyak, nanti kamu jadi gendut." Sudah begitu, dia langsung berdiri, balik badan, jalan keluar kantin.

Sebentar, tadi dia bilang jadi gendut? Kan Oca badannya bakalan tetap kecil aja meskipun makannya banyak. Dia nyindir badanku ya?

In hale.. ex hale.. kalem, Salsa. Kalem. Berpikir positif. Ok.

Aaahhh! Ilham sejak kapan sih jadi nyebelin?!

Matematika!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang