Prolog: Yang Bertahan

158 14 41
                                    

Derik menyakitkan gendang telinga tatkala pintu dibuka dari luar dan sepasang kaki telanjang bernoda lumpur melangkah ragu di atas lantai dapur kusam berjelaga. Seorang gadis yang bisa dikatakan akhir remaja, berwajah sendu dibingkai rambut hitam legam tak bercahaya seperti sorot beriris gelap miliknya, menjelajah seisi ruangan dengan ekor mata, lalu mendapati sesosok wanita sedang menjerang air di atas sebuah tungku kayu dengan nyala api menjilat-jilat pantat kuali gosong.

Ammarilys lantas tersenyum mengetahui kedatangan putri sulungnya yang sungguh tepat waktu. Ariana tidak pernah terlambat, ia selalu pulang sebelum makan malam, meskipun semakin hari sinar harapan di mata gadisnya itu semakin terkikis mimpi-mimpi palsu.

"Hanya ini yang kuperoleh, Ibu."

Ammarilys menerima sebuah kantong kulit dari tangan sang putri dan langsung mengetahui penyebab kemurungan Ariana setelah memeriksa apa yang ada di dalamnya. Beberapa umbi kurus ceking dan siput rawa besar yang sudah disiangi. Perpaduan makan malam yang ganjil, tetapi anehnya, air liur kini menggenangi lidah dan rongga mulutnya yang jarang menikmati daging. Ia bahkan bisa langsung mencemplungkan semua bahan makanan itu ke dalam kuali dan inilah yang sedang ia lakukan sekarang.

Setelah memasukkan adas dan garam, ia tutup kuali itu penuh perasaan puas. Dilapnya kedua tangan dengan serbet, lalu mengecup rambut di pucuk telinga kiri Ariana bahagia.

"Kau luar biasa, Nak."

Emosi di dada Ariana lantas tumpah dalam dengkusan kasar yang lolos dari hidungnya. "Tapi, Ibu—"

"Ini lebih baik daripada kelaparan." Wanita itu merangkul putrinya, melarang Ariana untuk mengeluh. Walaupun persediaan makanan dan hasil panen di lumbung telah habis, bukan berarti ketabahan mereka juga lantas surut. Sisa-sisa kekuatan yang mereka miliki terlalu sayang jika harus terbuang percuma. Menyesali masa suram dan roda nasib yang entah sedang bergulir di titik mana, jelas bukan jawabannya.

Diusapnya anak rambut hitam di kening terbakar milik putrinya. "Mandilah, kau kelihatan kotor. Setelah itu, panggil adikmu."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


SNOW BLOODTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang