she

152 7 3
                                    

pagi lalu aku terbangun sekitar pukul setengah enam pagi. Bergegas bangkit dari tempat tidur, dan langsung mengambil pakaian dalam lalu pergi ke kamar mandi. Tiap harinya, aku membutuhkan sekiranya satu jam termasuk makan pagi.

bel akan berdering pukul setengah tujuh pagi, beriringan dengan pagar yang ditutup rapat untuk menghalangi murid-murid yang datang terlambat, dan bersedia menerima hukuman pagi itu.

aku akan jadi salah satu dari murid-murid tersebut pagi ini, pikir ku kala itu.

setelah mandi, aku bergegas mengambil seragam dan menyiapkan buku, yang selalu aku siapkan tiap hendak berangkat sekolah.

dari lantai bawah, terdengar panggilan rumahku, "de! dede! udah siang!" suaranya mengisi ruang dengarku.

"iya! lagi pake baju!" jawabku sembari memakai dasi yang diwajibkan setiap hari senin.

"ini tehnya udah nenek buatin! kamu mau makan nggak?" teriaknya lagi dari ujung tangga.

kaki ku bergegas berjalan turun setengah tangga untuk menjawabnya, "nggak usah udah telat dede."

lalu aku kembali ke atas dan membangunkan ayahku yang selalu mengantarkan ku sekolah tiap pagi.

setelah pamit dengan ibuku dengan terburu-buru, kemudian mencari kaos kaki di jemuran, lalu memastikan aku sudah memakai seragam dengan lengkap, ikat pinggang, dasi, lalu membawa topi dan lainnya.

kemudian langkahku membawaku turun ke bawah untuk memakai sepatu, yang ku taruh di anak tangga bagian bawah.

ayahku sudah menyalakan mesin motornya.

aku menghela napasku, berharap pagi ini hujan, dan aku akan mendapatkan dispensasi karena terlambat, dengan alasan hujan.

tapi, pagi ini matahari bersinar seolah tidak mau kalah dengan sinar bulan bersama bintang semalam.

aku menolehkan kepalaku ke arah kamar nenek ku yang berada tidak jauh dari pintu utama. Aku tidak menemukan sosoknya di sana.

pandanganku beralih menuju arah dapur, dan tidak ada dia di sana.

maka yang aku lakukan adalah keluar dan menutup pintu, hendak menghampiri ayahku dan motornya yang sudah berada di luar pagar. Dan bertepatan dengan itu, nenek ku berjalan dari arah warung sahabatnya, lengkap dengan pakaian sederhananya, kemeja dan sarung, lengkap dengan dompet pasar warna hitam yang selalu ia bawa tiap keluar rumah.

pandangannya kadang buram, maka aku harus menghampirinya dulu dan menyalaminya.

"pergi dulu, nek. udah telat."

wajahnya tibatiba teringat sesuatu, "tehnya udah diminum?"

sial. aku lupa dengan tehnya. karena tidak enak, dan terlebih lagi, sudah hampir dari sejak kecil, ia selalu membuatkan aku teh sebelum berangkat sekolah, sudah menjadi habitku dan juga teh menjadi minuman yang sangat aku suka. kecuali ketika ia sedang marah, aku tidak akan menemukan teh di pagi hari.

maka aku kembali ke dalam rumah dan meminum teh yang dibuatkan olehnya di atas meja makan di bawah tangga.

kemudian aku berpaling hendak kembali keluar karena waktu sudah menunjukan pukul setengah tujuh kurang.

"ada duit nggak kamu?" tanyanya begitu aku melewati kamarnya.

"ada kok, nanti sama ayah."

"tunggu-tunggu, ini nih." ia kemudian membuka dompetnya dan mengeluarkan uang dua ribu. "berapa nih?"

"dua ribu, nek."

ia kemudian tersenyum, meratapi matanya yang sudah rabun. ia kemudin mengeluarkan selembar uang berwarna hijau dari dompetnya. "dua puluh ribu bukan ini?"

Night RecordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang