Di tempat ini, tidak ada hal yang ingin kubawa untukmu selain diriku sendiri. Lereng batu, asap belerang, batu dan pasir-pasir tipis, alir lahar, juga beberapa lidah api yang kadang kala menjulurkan diri mereka ke langit. Tidak ada yang layak kubawa kepadamu sebagai permohonan maaf. Bahkan, edelweis yang abadi tidak memekarkan bunganya karena tahu aku akan memetiknya sebagai permohonan maaf. Entah. Entah karena musim penghujan sudah tiba atau air mataku yang sedang badai.
Tya, kekasihku. Di sini banyak pendaki yang mengisyaratkan cinta dengan senyum dan pelukan kepada pasangannya. Seperti ciuman pertama kita dulu, mengejutkanku dan berlangsung dengan cepat.
Aku iri dan benci. Kesal dan menyesal. Aku tidak lagi dapat membawamu mendaki, ke teras yang biasa kita tempati, membuat mimpi dan mengejar matahari yang melulu kau sebutkan sampai-sampai aku bosan untuk terus-terusan mengatakan iya. Bahkan, aku tidak lagi bisa membawamu ke pelukanku sendiri.
Hal itu berlangsung dengan cepat, umpamanya keheningan pagi di ibukota dan cerita penolakan cinta remaja.
Aku mengenalmu sebagai perempuan sunda yang hebat berdandan dan feminin, ramah dan mudah marah, cantik dan mudah tertawa, terlebih dengan lelucon-lelucon cuai yang keluar dari mulutmu atau yang baru saja kau dengar belakangan. Aku berani menjamin bahwa tidak ada laki-laki yang tidak akan mencintaimu.
Kekasihku. Aku biasa mengirimkan puisi cinta, atau lelucon-lelucon remeh ke kolom pesanku dan dirimu. Tapi, beribu apapun aku ingin dan memaksakan diriku sendiri untuk memulai lagi, saat ini, tersisa hanyalah ketidakmungkinan.
Aku tidak lagi menggunakan gawai, mengantonginya pun dirasa tidak perlu. Tidak ada lagi hari-hari untuk berselancar di dunia maya dan mencoba terus menemukanmu. Sebab seberusaha apapun aku mencari, yang tersisa hanyalah kenangan di depan pintu dan genangan di kamar tidurku.
Ketidakinginanku untuk menggunakan gawai berawal dari ketidakmampuan untuk menolak jari-jariku yang melulu mengetik namamu di alat pintar itu. Suatu saat, aku menemukan potretmu yang sedang duduk sendirian dan cantik, memakai jaket tebal dengan bulu-bulu tipis yang menutupi leher, memeluk kaki-kaki kecilmu dan tersenyum dengan lanskap Tokyo di belakangmu.
Begitupun dengan potret kedua di unggahan tersebut. Di bawah patung air mancur Singapura, ada senyum yang mengembangkan dirinya sendiri–aku berharap senyum itu tidak akan pernah terbang dan meninggalkan wajah itu.
Aku tidak sigap menyudahi jari-jariku untuk menggeser lagi potret-potret yang kau unggah hari itu, begitupun tidak siap untuk dihinggapi penasaran bila aku tidak melakukannya. Foto ketiga membuatku mengingat masa kemarin, kau dan aku. Di pinggir pantai, spot yang sama dengan potret yang masih ada di dalam berkas tersembunyi komputerku–yang masih sering kubuka.
Di unggahanmu itu, dengan gaun merah dan corak bunga-bunga putih yang menghiasinya, rambut kuncir kuda, persis dengan foto di berkas tersembunyiku itu. Lalu rentangan tangan yang sudutnya sekitar 160 derajat dan tidak memakai sendal. Persis. Persis sekali.
Ada sesuatu yang mengoyak-ngoyak sekujur tubuhku di saat aku selesai menggeser layar gawai dengan jempol kananku. Di sana, seorang lelaki yang terlihat lebih tua beberapa tahun, mengenakan pakaian necis bernuansa terang, dengan kacamata hitam serta janggut dan kumis yang tipis. Tanpa memandang ke kamera, potret itu diambil oleh entah. Mungkin oleh dirimu. Mungkin juga orang lainnya.
Kebodohanku mencapai puncaknya ketika jariku masih belum cukup puas untuk melirik potret-potret lainnya. Sial. Ketidakpuasannya kini memancing rasa penasaran di sekujur tubuhku. Berikutnya adalah potret terakhir yang kamu unggah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabar
Short StoryDi tempat ini, tidak ada hal yang ingin kubawa untukmu selain diriku sendiri. Lereng batu, asap belerang, batu dan pasir-pasir tipis, alir lahar, juga beberapa lidah api yang kadang kala menjulurkan diri mereka ke langit. Tidak ada yang layak kubawa...