Rumah dengan arsitektur khas Jepang yang biasanya sepi itu kini menjadi ramai. Orang-orang dari rumah duka telah datang pagi-pagi sekali demi mempersiapkan segala hal untuk upacara pemakaman hari ini. Tidak ketinggalan pekerja dari toko bunga, sibuk mondar-mandir keluar-masuk rumah membawa puluhan rangkaian bunga krisan putih untuk ditata di altar. Di tengah-tengah rangkaian bunga, terpasang foto seorang wanita paruh baya yang tersenyum anggun, wanita yang kini telah berbaring tenang di peti jenazah di depan altar.
Menjelang siang, para pelayat berpakaian serbahitam mulai berdatangan, disambut oleh pekerja dari rumah duka. Mereka mengisi buku tamu dan menyerahkan amplop putih dengan simpul khusus berwarna hitam berisi uang duka—yang biasa diberikan kepada keluarga yang sedang berkabung—lalu memasuki ruang utama.
Miura Akane tidak peduli dengan keramaian yang mengelilinginya di ruangan itu. Ia hanya menatap kosong pada foto yang terpajang di tengah-tengah rangkaian bunga krisan, sambil memainkan ujung lengan seragam sekolah yang dikenakannya. Air matanya sudah mengering sejak semalam, menyisakan mata merah dan bengkak yang tidak dapat disamarkan.
Lamunan Akane dibuyarkan oleh lambaian tangan tepat di depan wajahnya. Seorang gadis sebayanya dengan seragam yang sama menatap Akane sedih.
"Akane-chan," panggil gadis itu pelan.
"Minami ...."
"Aku turut berduka atas kepergian ibumu." Kuwahara Minami, teman sekelas Akane berkata sambil membungkukkan tubuhnya.
Akane balas membungkukkan tubuh. Tidak ada ekspresi ketika ia kembali menegakkan punggungnya. Hal itu tidak luput dari perhatian Minami, memikirkan betapa berat bagi sahabatnya itu kehilangan sang ibu tepat sebelum kelulusan SMA, satu-satunya orang tua yang ia miliki.
"Aku duduk bersama orang tuaku di belakang. Aku akan menemuimu lagi setelah prosesi ini selesai."
Akane mengangguk dan kembali mengucapkan terima kasih. Minami pamit padanya dan menyusul kedua orang tuanya di barisan belakang.
Pelayat semakin ramai berdatangan. Mereka duduk bersimpuh dengan rapi menghadap peti jenazah di altar. Kakek dan nenek Akane menghampiri gadis itu, mengajaknya duduk di tempat khusus untuk keluarga dan kerabat di sisi kiri bagian depan ruangan itu. Seorang biksu telah hadir, tandanya upacara pemakaman akan dimulai sesaat lagi. Sang Biksu mulai menyanyikan kitab sutra untuk mendoakan jenazah. Semua pelayat menyimak dengan khidmat.
Ini adalah pertama kalinya dalam seumur hidup Akane berada di dalam upacara pemakaman. Ironisnya, pengalaman pertamanya adalah di pemakaman ibunya sendiri.
Lebih menyedihkan lagi, ibunya pergi hanya beberapa hari sebelum hari kelulusannya di SMA. Akane masih ingat seminggu yang lalu di rumah sakit, ibunya berkata akan menghadiri upacara kelulusan Akane. Akane tersenyum mengiakan dan menyemangati ibunya agar cepat sembuh. Walau hubungan mereka agak rumit sebelum ibunya sakit, tapi Akane menyayangi ibunya, dan sangat ingin orang tua tunggalnya itu melihatnya di panggung kelulusan. Sekarang, tentu keinginan itu tidak akan pernah menjadi nyata. Tidak ada orang tua di hari kelulusan, Akane tidak bisa membayangkan apa yang lebih menyedihkan dari itu.
Ekspresi murung masih menetap di wajah Akane selama upacara berlangsung. Seperti kakek dan neneknya, Akane mempersembahkan dupa di depan peti jenazah ibunya. Setelah pihak keluarga selesai melakukan ritual itu, satu per satu pelayat mulai melakukan hal serupa, memberi penghormatan terakhir dan mempersembahkan dupa. Beberapa jam kemudian ketika kitab sutra selesai dibacakan, maka berakhir pula upacara pemakaman hari itu.
"Obaachan (Nenek)," bisik Akane memanggil sang nenek yang ada di sampingnya. "Aku ingin ke toilet sebentar."
"Pergilah. Jangan lama-lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
One Week with Sakamoto-san
General Fiction[DAFTAR PENDEK WATTYS 2021] [TAMAT] Miura Akane tidak pernah menyangka akan bertemu dengan seorang lelaki yang mengaku sebagai ayahnya di upacara pemakaman sang ibu. Padahal selama ini yang ia tahu ayahnya telah meninggal. Sakamoto Tetsu berusaha me...