Dadaku kembang kempis saat Papa membawaku ke tempat hiburan malam. Diseretnya aku hingga menarik perhatian para pengunjung disitu. Air mata terus mengalir, melewati pipi dan meluncur bebas jatuh ke kerudung biruku.
"Cepat jalan anak pelacur," bentaknya padaku membuat aku ketakutan.
Di depannya berdiri dua pria berbadan kekar memandang kami dengan tatapan menyeramkan. Terutama padaku, Papa memberikan mereka isyarat untuk membiarkan kami masuk. Aku terus meronta dan Papa nampak kewalahan mengurusku.
Cengkeramannya terlepas. Aku hendak berlalu namun dua pria tadi sudah menutup jalanku untuk keluar. Papa lalu menarik kasar tubuhku, aku terputar dengan kerasnya. Satu tamparan mendarat dipipiku. Panas menjalar disitu. Air mata kembali berlinang.
Teringat bagaimana Mama tadi menangis meraung memanggil namaku. Papa seolah tuli, tak menghiraukan wanita yang sudah dinikahinya selama sepuluh tahun itu. Mamaku tak bisa lagi beraktivitas terlalu keras, karena kanker serviks yang dideritanya. Akibat terlalu jajan sembarangan saat dia muda dulu. Dan hasilnya adalah aku. Gadis berusia dua puluh satu tahun yang tak tahu siapa Ayah kandung sendiri.
Sejurus kemudian aku sudah berada di salah satu ruangan yang bernuansa merah dengan pencahayaan yang minim. Mataku sakit karena ada kerlap-kerlip lampu penghias. Tak berselang lama, masuk seorang wanita dengan gantungan kunci menari-nari di tangan kirinya.
"Dia yang kamu janjikan?" tanya wanita itu pada Papa.
"Iya. Mana bayarannya? Masih perawan, aku jamin," ujar Papa membuatku terkejut.
Ada apa ini? Apa aku mau dijual? Apa yang akan mereka lakukan padaku? Ya Allah, tolong aku. Aku gemetar ditempat dudukku.
"Bagus. Ternyata malam ini ada seorang pengusaha muda yang meminta perawan," ujarnya dan menatapku penuh selidik. "Pakaianmu harus diganti," lanjutnya
Dan isyarat demi isyarat dilakukan wanita itu pada bodyguard-nya. Aku menggenggam erat kerudungku. Menatap Papa dengan tampang memelas. Semoga masih ada sedikit belas kasihan padaku dan membawaku pergi dari sini. Tapi, yang aku lihat adalah tatapan benci dan jijik darinya. Di mana pria penyayang yang dulu? Kemana kasih sayang yang dulu? Kemana ia? Kemana Papaku itu.
"Ganti bajumu. Cepat!"
Satu bentakan keluar dari wanita itu. Aku terkesiap, lalu dengan gerakan tiba-tiba, aku diseret oleh dua bodyguard miliknya. Dengan kasarnya tubuhku dilempar ke dalam kamar. Dengan sisa kekuatan aku menyerbu mereka. Tapi aku kalah cepat. Pintu kamar dikunci dari luar.
***
Berlangsung cukup lama. Saat aku diam mematung ditepi ranjang. Tiba-tiba, pintu dibuka dari luar. Aku memposisikan diri dalam mode pertahanan. Aku sangat takut. Sungguh.
Dalam pencahayaan yang redup, aku dapat melihat pria dengan pakaian kasualnya masuk masih membelakangi aku. Jantungku berdegup kencang. Saat dia berbalik dan menatapku. Ia sedikit terkejut.
"Apa aku sedang ditipu. Kenapa ada ustadzah dikamar ini?" tanyanya sambil menatapku dari atas sampai bawah.
Kemudian dia keluar. Tapi sedetik kemudian, membawa masuk wanita jahat tadi. Yang meminta aku mengganti baju muslimahku dengan baju kurang bahan ini.
"Sialan kamu. Aku sudah meminta untuk mengganti bajumu," bentaknya kasar sekali.
Aku gemetaran. Menatap ragu-ragu ke arah wanita dan pria itu bergantian. Kemudian pria itu menarik kedua tangannya dan menyilangkan di depan dada. Menatapku seolah menilai.
"Baiklah Mami, biarkan gadis ini. Aku yang akan mengurusnya," ujarnya sambil merangkul wanita yang dipanggil Mami itu.
Wanita jahat itu menatap marah padaku. Aku salah apa? Aku hanya mempertahankan kehormatanku.
"Kamu, buka kerudungmu," ujar pria asing itu saat ia sudah mengusir halus si Mami.
"Saya mohon Pak. Saya mohon, jangan apa-apakan saya," ujarku seraya bersujud meraih kakinya, meminta belas kasihan.
"Apa-apaan ini?" timpalnya sambil mundur teratur.
"Saya mohon Pak, saya korban di sini," aku masih memelas.
"Uangku sudah banyak yang keluar hanya karena kamu," timpalnya dan berjongkok menatapku instens.
Aku berangsur mundur. Aku takut. Air mataku sudah kering, aku tak sanggup lagi menangis.
"Kamu dijual!" tatapan itu seolah bisa membunuhku. "Dan aku sudah membelimu," lanjutnya dengan seringai tajam.
Seketika tubuhku sudah dilempar ke atas kasur. Aku gelagapan membenarkan gamisku yang tersingkap. Kemudian duduk dan melindungi tubuhku dari sifat setan pria itu.
"Nikahi aku!" bentakku nyaring.
Kulihat gerakan pria itu terhenti. Dia menatapku heran. Kemudian tawa berderai di dalam ruangan tiga kali empat ini.
"Kamu gila? Untuk apa aku menikahi pelacur," ujarnya mengejek.
"Aku masih perawan!" bentakku marah. Tak terima disebut pelacur.
"Oh ya?" timpalnya pura-pura. "Boleh aku coba?" lanjutnya dan menyeringai seram.
"Nikahi aku. Maka tubuhku dan semua akan jadi milikmu," tantangku padanya. "Dari pada nanti kamu jajan diluar, akan lebih baik menyantap yang halal," entah keberanian dari mana aku bisa mengatakan hal absurd begitu.
Pria asing itu duduk terdiam di tepi ranjang. Seolah sedang memikirkan sesuatu. Sesekali menoleh ke arahku yang ketakutan.
"Baiklah," ujarnya langsung berdiri. Masih menatapku. "Setelah aku tahu," lanjutnya dan aku yang kaget diserang tiba-tiba. Tak bisa melakukan persiapan. Aku telah diterkam.
#TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Pelakor?
Подростковая литератураHanya seorang istri yang ingin dianggap. Tapi kenangan kelam membuatnya tak berani melangkah lebih. Dia cukup tahu diri.