Tendangan demi tendangan kulayangkan pada pria itu. Isak tangis pecah seketika saat tahu diriku benar-benar terancam. Didepanku ini adalah predator, wajahnya terlihat sekali seperti iblis. Berusaha membuat tubuhku lemah dengan cengraman demi cengkraman.
"Toloooooonggggg!" teriak sebisaku. Walau ku tahu tak akan ada yang menolongku.
"Ya Allah. Tolong aku!" teriakku lagi. Saat ini yang aku tahu hanya Allah yang bisa menolongku. Semoga.
Pria itu berhenti seketika. Mundur teratur turun dari tempat tidur, menatapku nyalang. Wajahnya semakin seram, dan aku takut sekali.
"Jangan bawa nama Tuhan. Kamu tidak ada bedanya dengan pelacur pada umumnya. Jangan berlagak suci di depanku!" bentaknya seperti orang kesetanan.
"Pak. Istighfar Pak, ini salah. Kita tak seharusnya melakukan hal seperti ini. Ingat istri dan anak bapak di rumah," ujarku berusaha mencari celah untuk kabur.
Kulirik sekilas kunci masih bertengger di pintu. Kesempatan untuk lari sangat besar. Maka tetaplah mengulur waktu.
"Aku belum menikah," timpalnya marah. Antara tersinggung atau apa? Yang jelas fokusku sekarang adalah kabur. "Kamu sudah kubeli. Jadi malam ini nikmati saja,"
"Tidak. Tidaakkkk!" teriakku sambil beranjak turun dari peraduan. Berlari menghindarinya.
"Kemari kau,"
"Tidak. Tolonglah Pak, jangan!" susah payah aku meminta. Tapi pria di depanku ini memang benar-benar sudah dirasuki iblis.
***
Dan pada akhirnya. Malam ini merupakan malam terkelam dalam hidupku. Aku menangis di sudut ruangan dengan seprai yang kulilitkan ditubuh rapuhku ini. Berulang kali beristighfar, untuk meminta ampun pada Allah. Atas kelalaianku mempertahankan kehormatan. Aku sudah tidak perawan lagi. Aku kotor, pria mana yang akan menerima aku? Air mata rupanya menjadi teman paling setia.
"Aku akan menikahimu," suara sumbang itu terdengar. Aku mengangkat muka dan menatapnya murka. Aku benci dia. "Namaku Adi. Siapa namamu?" lanjutnya dan menatapku intens.
"Kenapa?" tanyaku lirih. "Bukankah aku sudah bilang, kalau aku masih perawan. Kenapa?" tangisku pecah. Aku merasa sangat kotor.
"Tenanglah. Anggap saja ini malam pertama kita," ujarnya santai, masih diatas kasur.
Aku berdiri dan meraih guci kecil di atas nakas. Berusaha ingin memukulnya barang sekali, agar hatiku tak sesakit ini. Walau nyatanya benar sakit.
"Wow. Tenanglah, aku akan bertanggung jawab. Aku janji," ujarnya sambil meraih tanganku. Meletakan kembali guci itu dan menuntunku duduk di sampingnya. Dan ia mengusap-usap jemariku. Aku sudah tak kuasa menepis tangan nakalnya. Aku lemas, dan sekejap kemudian aku tak sadarkan diri.
***
Kepalaku sakit dan seluruh tubuhku seolah tak bersendi. Aku bangun dengan kondisi tubuhku yang kelihatan sudah lebih baik, kerudung sudah bertengger di kepala. Baju yang aku pakai terlihat baru, dan aku sudah berada di kamar yang. Entahlah?
Pintu kamar terbuka dan pria itu masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Tebakku.
"Sudah bangun?" tanyanya dan tersenyum ramah.
Aku melihat isi nampan. Ada semangkuk bubur dan segelas air juga obat yang aku tak tahu. Kemudian kembali menatapnya. Pria jahat. Makiku dalam hati.
"Aku sudah menikahimu tadi pagi. Embel-embel buku nikah dan semuanya sudah diurus. Jadi saat ini kita suami istri. Tapi, keluargaku atau keluargamu tidak tahu ini," lanjutnya lagi.
Aku masih mendengarkan. Tak kuasa menanggapi.
"Kalau butuh apa-apa. Bilang saja, aku harus pergi. Bye istriku," ujarmu seraya menggoda.
Aku masih lemah. Hanya tatapanku saja yang mengiringi kepergianmu.
Matahari beranjak naik keperaduan. Suasana rumah sepi. Aku berjalan menyusuri rumah yang lumayan besar milik pria itu. Aku merindukan Mama, bagaimana kabarnya sekarang? Apa Papa tiriku yang jahat itu, akan menyiksanya? Semoga Allah melindungi Mama.
Bel pintu berbunyi. Aku yang tak tahu apa-apa ini hanya diam mematung ditempatku. Aku tak berani berjalan kearah pintu. Saat ini aku tak sanggup bertemu dengan siapapun aku malu. Sungguh.
Sedetik, dua detik, hingga satu menit berlalu. Barulah bel itu terdiam. Aku berjalan menuju kamar. Tak mau merespon siapapun.
Tubuhku meringkuk di dalam selimut. Bayangan kemarin malam melintas diingatanku begitu saja. Air mata penyesalan dan kemarahan meluap. Menciptakan bendungan kecil di pipiku ini. Apa yang akan orang katakan padaku? Bagaimana tatapan mereka padaku? Ibunya pelacur tak mungkin bisa anaknya jadi shalehah. Kata-kata menyakitkan itu terus terngiang di kepalaku.
"Aaarrrgggghhhhh!" teriakku sambil menutup mata dan tanganku menutup kedua telinga.
Tanpa aku sadari sepasang tangan sudah mencengkeram tanganku, membawaku ke dalam pelukannya. Mataku membulat sempurna, tubuh berani itu kudorong hingga ia terjatuh. Meringis dan menatapku kaget. Tatapanku penuh murka padanya.
"Pemerkosa. Kamu jahat, kamu jahat Adi," gumamku tak jelas sambil melemparinya dengan bantal yang ada disampingku.
"Wow. Tenanglah sayang," ujarnya berusaha menepis bantal yang melayang ke arahnya "Aku minta maaf atas kejadian kemarin. Aku sudah menikahimu, aku bertanggung jawab atasmu. Tenanglah," lanjutnya dan langsung meraih tubuhku kedalam dekapannya.
Tangisku perlahan mereda. Tatapanku sendu, aku yakin sekali mataku bengkak. Aku masih malu menatap cermin, aku tak sanggup menatap diriku yang sekarang.
"Syafa Aqira!" ujarnya tertahan.
Aku melepas pelukannya. Dari mana pria ini tahu namaku? Tatapanku menyelidik."Ini buku nikah milik kita. Pernikahan kita sah dimata agama dan negara. Jadi jangan berlaku kasar seperti tadi. Aku masih memaafkanmu kali ini," pandangan kami saling bertaut. "Oh ya, aku tidak tahu kau mau mahar apa. Tapi, aku memberikanmu cincin ini. Sebagai tanda, bahwa kau istriku," ujarmu panjang lebar, kemudian menyematkan cincin emas dijari manisku. Dan aku hanya melongo.
"Lalu bagaimana kamu ucapkan ijab kabul tanpa tahu maharku?" tanyaku bingung.
"Karena aku yakin yang kamu butuhkan adalah cincin. Yah, seperti wanita pada umumnya,"
Aku mengangguk membenarkan. Kemudian satu kecupan mendarat dipipiku. Hey, apa-apaan ini.
"Maaf!" ujarmu dan berlalu dari hadapanku.
***
Seminggu berselang pernikahan dadakan itu. Adi tak berani macam-macam padaku. Mungkin dia tahu akibat dari perbuatannya. Yang membuatku sedikit trauma dan kadang bisa mengamuk tak jelas. Dia setiap malam tidur disampingku, tapi tak berani berbuat lebih. Hanya ia ingin meraih tanganku tapi segera kutepis dan beranjak dari ranjang. Tidur di lantai guna menghindarinya.
"Hari ini aku lembur. Pulangnya agak kemalaman, kamu gak apa-apa kan?" ujarnya sopan.Setelah beberapa hari tinggal dengannya. Aku tahu sedikit sifatnya, dia pria baik, hanya saja. Kejadian malam itu membuatku tak bisa memaafkannya begitu saja. Aku sangat membencinya saat ini.
"Iya. Kamu sarapan dulu," timpalku dan menyerahkan sepiring nasi goreng padanya.
"Terima kasih!" senyum yang menawan itu diberikannya padaku.
Dia sering tersenyum. Tapi aku tidak, aku tak bisa kembali seperti dulu lagi setelah tragedi malam itu. Entah kenapa aku merasa sangat hina. Walau yang melakukannya sekarang sudah menjadi suamiku. Tapi awal perbuatan itu dari proses yang haram. Wanita mana pun tak akan terima jika dia sangat menghargai kehormatannya.
#TBC....
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Pelakor?
Teen FictionHanya seorang istri yang ingin dianggap. Tapi kenangan kelam membuatnya tak berani melangkah lebih. Dia cukup tahu diri.