Ada sebuah kalimat yang dulu pernah kudengar.
"Seorang filsuf pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan namun mati dalam keadaan muda dan yang tersial adalah umur tua.
Entahlah, aku tak begitu ingat tentang kisah panjang yang kala itu dideklarasikan oleh guruku. Nyatanya menggambar pemandangan di balik jendela lebih menyenangkan dibanding membiarkan kedua telingamu panas nyaris terbakar. Membosankan.
Well, sebenarnya aku masih bertanya-tanya tentang bagaimana Tuhan menciptakan diriku. Terlebih bagaimana cara Tuhan menciptakan sosok Kim Taehyung yang terlewat sempurna untuk dicap sebagai manusia normal. Ah, tidak. Dia memang tidak normal.
Terakhir kali aku bertemu dengannya itu saat Park Jimin, tetangga baruku, mencuci mobil di pekarangan rumah dengan sesosok pemuda tampan yang nyaris tak kukenali, tepat lima hari yang lalu.
Kala itu aku tengah menyirami tanaman di halaman belakang sebab Mama mengomel dengan rentetan kalimat panjang. Persis seperti dogeng penghantar tidur. Entah bagaimana ceritanya pandangan kami tak sengaja bertemu dalam beberapa sekon. Dan obrolan singkat pun terjadi.
Kuingat Taehyunglah yang memulai percakapan lebih dulu, "Boo Sumi?" tanyanya sembari menggaruk tengkuk berulang kali.
Napasku tercekat saat mencium aroma wangi maskulin, bitter sweet dengan kualitas yang sempurna menguar seiring Taehyung menapakkan kakinya di halamanku. Ia jadi terkesan seperti pria elegan yang penuh percaya diri.
Aku meneguk air liur membayangkan wajah tampannya kala itu, "Eh? Apa sebelumnya kita saling mengenal?" jawabku gugup, sesekali mencuri pandang ke arah dadanya yang sedikit terekspos sebab kancing kemeja hitamnya tak terpasang dengan benar.
"Taeㅡ" ia menjeda sebelum mengulurkan tangannya ke arahku dengan ekspresi kikuk, "Kim Taehyung. Kau ingat aku?"
Tanpa basa-basi aku langsung membalas uluran tangannya dengan seulas senyum. Buru-buru menjawab tanpa benar-benar mencerna kalimatnya barusan, "Ah, salam kenal. Akuㅡ"
Oh, damn. Belum sempat aku menyelesaikan kalimat seketika tubuhku terasa membeku. Tangan Taehyung seolah memberi efek sengatan yang mengejutkan, membuat napasku mendadak berat saat dirasa pening mulai kembali. Aku melepaskan jabatan tanganku pada miliknya. Meremas ujung kaos yang kukenakan sekuat mungkin untuk menetralisir rasa sakit yang mulai menarik seluruh kesadaran.
Ada apa dengan tubuh sialan ini?
Sekilas kulihat Taehyung dengan air muka khawatir mulai menyentuh bahuku untuk sekadar membantu. Namun hal diluar kendali terjadi. Aku menepis kuat tangan pemuda itu dengan emosi yang bercokol entah apa sebabnya.
Kami hanya saling pandang dalam diam, tanpa sebilah kata pun. Tiba-tiba saja kepalaku seperti dihantam sebuah meteor. Pening bukan main. Seolah memori usang di dalam kepalaku ditarik paksa untuk berputar mengenang segala peristiwa yang sudah berlalu ketika menatap iris cokelatnya.
Sial.
Seharusnya sejak awal aku menyadari bahwa laki-laki itu adalah Kim Taehyung.
TBC