02

56 11 6
                                    

Desir angin beraroma panekuk merebak masuk bersama senja di penghujung hari.

Pagi tadi aku tak sengaja menemukan Kim Taehyung melangkah gontai menuju ke kediaman Park Jimin. Wajahnya kuyu, tak seceria tempo hari. Tapi, tidak. Sama sekali tidak merusak secuil ketampanan yang ia miliki. Agaknya Tuhan memang benar-benar membutuhkan waktu lebih lama untuk menciptakan pemuda itu. Hidungnya, rahangnya, kulitnya, matanya, tubuhnya. Semua bahkan terlihat nyaris sempurna.

Irisku mengawasinya lekat. Seketika perasaan rindu kembali mencuat, menghujani kepalaku dengan sejuta kenangan pilu di masa lalu. Ini tidak benar. Yang kutahu Boo Sumi bukanlah perempuan lemah yang gemar menangis dan mengurung diri di balik tembok. Tapi entah mengapa, diriku seakan berubah menjadi sosok yang tak pernah kukenal sebelumnya. Meringkuk di sudut bilik kamar bersama isak tertahanㅡMama akan datang jika mendengar dan keesokan harinya akan tercipta sebuah karya seni berwarna ungu kebiruan di beberapa sudut tubuhku.

Kurasakan kepalaku berdenyut ngilu. Mataku mengerjap beberapa kali sebelum memungut seluruh kesadaran yang menguap bersama suara ketukan samar pada pintu utama.

"Hei, sayang. Apa tidurmu nyenyak semalam?"

Aku terkesiap nyaris terjingkat saat sosok Park Jimin menyembul dari arah pintu dengan sepiring panekuk di tanganㅡlengkap dengan seringai tipis di wajah. Andai saja aku memiliki riwayat penyakit jantung, sudah kupastikan pria itu panik bukan kepalang melihatku terkapar lemah di karpet beludru.

"Lain kali ucapkan salam sebelum bertamu kerumah orang. Dasar tidak sopan."

"Aku?" sahutnya dengan ujung telunjuk menunjuk dada. Matanya terbeliak menatapku berang, "Tidak sopan katamu? Hei, aku membawakan sepiring panekuk karena Ibu mu sudah membuatkan tato untukku. Apa salahnya, sih?"

Hell. Sejak kapan Mama beralih profesi sebagai seniman tato?

Dua bola mataku merotasi. Bangkit dengan malas bersama tubuh yang terasa amat penat. Mendepak Jimin dari dalam rumah agaknya sedikit merepotkan. Seperti mengusir anak tikus yang kerap kali menjamah makanan di dapur.

"Mama sedang tidak di rumah. Jadi apa yangㅡ" belum tuntas seluruh unek-unek berkelakar di dalam kepala kuutarakan, Jimin langsung menyodorkan piringnya padaku. Lantas melengos masuk begitu saja.

"Rumahmu ini sedikit aneh," ia berdalih dengan tampang tak tahu diri.

"Apa maksudmu?"

"Aura gelap," aku diam menunggu kalimat selanjutnya, "Tapi, aku suka aromanya."

"Hentikan bualanmu, Park Jimin."

"Manis. Seperti dirimu."

Aku mendengus mendengarnya terkekeh puas. Ingin sekali melemparkan wajan Mama ke arah wajah pemuda itu. Aku masih bisa melihatnya dari meja pantry. Ia seolah terpaku menatap seisi ruangan yang sengaja tak diberi sekat antara ruang tengah dan ruang dapur. Irisnya menjamah deretan lukisan yang terpajang apik di sekitaran dinding menuju tangga. Tungkainya melangkah lambat, sangat hati-hati.

"Ada banyak jebakan di dalam rumahku," ucapku memperingati, "Hanya sedikit informasi. Kuharap kau berhati-hati, tuan Park."

Jimin tak menoleh, hanya menggidikkan bahu sambil bergumam 'masa bodoh' lantas terkekeh pelan seraya merampas sebungkus keripik kentang di atas nakas dan menjatuhkan bokongnya pada perpotongan sisi sofa seakan ialah sang pemilik rumah. Padahal kami belum pernah mengobrol sebelumnya. Tapi ia bersikap seolah kami adalah teman lama yang kembali dipertemukan.

Aku menghela panjang sebelum mendorong tungkai paksa untuk duduk di sebelah Jimin. Ia hanya menatapku kilas. Lantas menyuapkan sehelai keripik kentang milikku ke dalam mulut sambil bertutur, "Kau sendiri?"

"Kurasa penglihatanmu masih berfungsi dengan benar, Jim."

"Bagus. Aku juga sendiri," sudut bibirnya melekuk, membentuk senyum.

Aku memutar bola mataku tak habis pikir, "Ya, terserah."

Well, Tak ada percakapan di antara kami setelah itu. Jimin sibuk memilah siaran TV sambil meracau tak jelas. Sesekali memasukkan potongan keripik ke dalam mulut. Aku mengedip kosong berulang kali. Menggigit dalam bibir bawah sembari merutuki diri saat satu pertanyaan melengos begitu saja.

"Sejak kapan kau mengenal Kim Taehyung?"

Hening sejenak. Jimin berdehem tak lekas menjawab. Seolah stagnan saat aku benar-benar menghujaninya dengan tatapan mengintimidasi, "Maaf lancang," sanggahku, "Tapi aku sering melihatnya datang ke rumahmu."

Kulihat urat-urat di leher Jimin mencuat. Pergerakannya terasa seperti slow motion. Bahkan sangat terasa lambat dua kali lipat saat ia menolehkan kepala ke arahku. Perlahan sudut bibirnya terangkat. Tawanya terdengar getir. Ia terlihat pilu pada sorot matanya yang binar, "Setelah lima tahun kau menghilang. Apa sekarang kau mengkhawatirkannya?"


TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OneiroiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang