Prolog

93 22 10
                                    

Iris kami bersirobok. Kemudian saling beralih memandangi hamparan rumput liar yang tumbuh hampir mengelilingi setiap sudut bangunan rumah.

Mama menghela panjang menatapku untuk kesekian kalinya dengan raut terbebani. Lantas berjalan masuk lebih dulu meninggalkanku yang masih termangu diam di depan pintu gerbang dengan satu tangan yang mulai bergetar.

"Cepat masuk. Jangan biarkan tubuh kotormu itu semakin kotor." Ucapnya padaku, tajam, seolah belati menjelma menjadi jenahar wanita itu.

Aroma basah rerumputan seketika melipir masuk ke indra penciuman saat tungkaiku tertuntun paksa memasuki halaman yang masih dipenuhi ilalang dengan perasaan was-was.

Kendati memilih sebuah hunian dengan kolam renang atau halaman luas yang diapit tanaman bunga warna-warni, Mama lebih memilih sebuah bangunan tua yang nyaris runtuh jika langit berubah menjadi nampan besar yang dibalik paksa, hingga menumpahkan seluruh isinya.

Pun masih terngiang jelas saat sosok Mama yang kukenal menjelma menjadi seonggok monster tak berbelas kasih. Memasukkan puluhan pil ke dalam mulutku dengan todongan pisau sebagai ancaman. Sesekali melayangkan tendangannya pada perut, membabi-buta tanpa rasa ampun. Dengan wajah berubah merah ia berteriak merapalkan doa-doa, berharap sosok malaikat kecil di sana tak sampai hadir mencicipi hiruk-pikuk dunia.

Aku terisak kuat saat dirasa seluruh tubuhku tak lagi mampu merespon pukulan yang diberikan Mama bertubi-tubi. Sungguh menyakitkan. Seolah melihat dua kematian berdiri gagah didepan mata.

Dan saat itu, aku mulai mengambil kesimpulan bahwa Mama merupakan jelmaan iblis.

Bayangan itu hilang. Menguar bersama dentuman musik terlewat keras di sebelah kamarku. Aku terhuyung saat mencoba berjalan ke arah jendela. Menyibak tirainya dengan mata menyipit, nyaris terpejam. Menatap lama jendela milik Park Jimin dengan perasaan dongkol setengah mati.

Sial.. apa yang dilakukan penghuninya, sih?

Seketika tirai di sebrang sana tersibak, menampilkan seonggok pemuda dengan seringai di wajahnya. Tak ada sapaan hangat selamat pagi untuk tetangga yang seminggu sudah bersemayam di samping rumahku. Kami hanya saling pandang selama tiga detik. Pada detik terakhir ia melambai ke arahku dengan sekantong plastik penuh apel di tangan kirinya.

Tak mau tertular penyakit sinting, aku lantas memundurkan tubuh beberapa langkah. Menutup kembali tirai setelah menunjukkan jari tengahku ke arahnya.





TBC

OneiroiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang