02

851 164 26
                                    









Darsha masuk ke kamarnya, meletakkan biolanya di meja belajar dengan napas gusar. Ia tidak tenang. Sebentar lagi jam tujuh malam, waktu ayahnya pulang dari kantor.

Demi apapun, Darsha tidak pernah berani untuk ada di rumah setiap ayahnya pulang. Rasanya dia ingin pergi karena tatapan marah ayahnya hanya bisa menyudutkan dan terasa terlalu mengintimidasi.

Detak jantungnya kian berpacu kala mendengar suara klakson mobil. Ayahnya pasti sudah pulang.

Keringat dingin membasahi pelipisnya, Darsha takut bukan main. Kakinya gemetar, begitu sang ibu membuka pintu kamarnya dan berkata, "Turun, Sha. Makan malem sama ayah."

Maka dengan segenap keberanian yang tersisa, ia melangkah keluar dari kamarnya yang selalu terasa aman. Ia menuruni tangga, mendapati sosok ayahnya yang tinggi dan besar sudah duduk di kursi andalannya. Menunggunya untuk makan malam bersama dengan menu chicken cordon bleu sebagai menunya.

Darsha duduk di hadapan sang ayah, lalu mengambil peralatan makan dengan sesuai. Ayahnya selalu menerapkan table manner dengan ketat.

Ayahnya berdeham saat putri satu-satunya menatapnya. "Gimana sekolah kamu, Darsha? What did you do for today?"

Darsha memainkan sendoknya, benar-benar takut karena hari ini praktek biola dengan lagu yang cukup susah baginya.

"Aku── I'm sorry i couldn't do my best. Aku dapet 80 buat praktek biola..."

Ayahnya naik pitam. Marah. Rahangnya mengeras, sendok yang sedang dipegang lantas dibanting begitu saja ke atas piring.

"80 kata kamu?! Ayah susah-susah sekolahin kamu disana, dan kamu cuma bisa dapet 80?! Apa untungnya ayah punya kamu, Darsha?! Malu-maluin keluarga! Ayah dan Ibu kamu ini pemain orkestra! Apa kata orang kalau anaknya bahkan jelek permainan biolanya?!"

Bahu kecil Darsha bergetar, air mata bergumul di pelupuk matanya. Kapanpun akan tumpah ketika pertahanannya mulai lemah. Mulutnya mengatup rapat, tergugu kala sang ayah berdiri dan maju untuk mencengkeram dagunya dengan keras hingga berbekas kemerahan.

"Kamu harus bisa sekolah di Vienna, Darsha. Kamu. Harus. Bisa." Ayahnya memberi penekanan, seolah bisa melakukan apa saja padanya jika dia tidak berhasil mendapat surat rekomendasi dari sekolah untuk melanjutkan pendidikan di sekolah musik yang ada di Vienna.

"Kamu juga harus bisa masuk tim orkestra yang ada di sekolah. Ayah gak mau tau, kamu harus bisa. Apa susahnya, Darsha?"

Sangat susah.

Darsha suka bermain biola, tapi jika dipaksa seperti ini, ia merasa tertekan.

"Ingat, kata-kata ayah. Ayah dan ibu bisa jadi anggota orkestra, dan kamu juga harus bisa."

Pundak Darsha terasa berat sekarang. Air matanya mengalir karena bebannya seperti tidak ada habisnya.

"Gak usah nangis, ini salah kamu because you never be enough, Darsha."

Benar.

Dia memang tidak pernah terlihat cukup di mata ayahnya.

Dia tidak pernah menjadi hebat.

Dia selalu kurang.












*˘.。*♡














Danish tersenyum riang kala salah satu anak muridnya memainkan lagu The Four Seasons dengan benar, padahal ia baru mengajarinya satu minggu yang lalu. Tangannya setia merekam dengan kamera, tak menyangka permainannya akan sebagus itu.

A BUTTERFLY FOR THE LOVERS ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang