Prolog

183 11 7
                                    

    Malam hari yang begitu dingin. Ditambah suasana yang tak bersahabat karena angin bertiup kencang membuat korden terkibas kesana kemari. Rara, gadis berumur 16 tahun yang belum tertidur tetap membuka matanya hingga menunggu ayahnya pulang sambil melihat dari jendela kamar. Sudah dua jam berlalu dan ayahnya belum pulang. Ibunya mungkin telah kecewa kepada ayahnya dan mulai berpikiran bahwa suaminya itu mabuk karena telah kerja haram bermain judi. Ayahnya melakukannya berulang kali karena dia pernah memenangkan permainan itu sekali dan terus mencobanya hingga mendapatkannya kembali.

   Rara mulai bosan dan mengantuk, lalu memanjat ke kasur untuk tidur. Dia menarik selimutnya untuk menghangatkan tubuh dari malam yang dingin. Baru sekejap dia menutup mata. Hingga kemudian terdengar sebuah ketukan pintu. Itu pasti ayahnya. Rara keluar dari kamarnya untuk menemui ayahnya namun urung. Ibunya telah membukakan pintu terlebih dahulu dan berbicara panjang lebar kepada ayahnya yang masih dalam keadaan mabuk sambil meletakkan kepalanya di atas meja. Ada sedikit perasaan menyesal kepada ayahnya. Dengan perasaan itu, Rara tertidur kembali dalam keadaan air mata yang menetes setitik demi titik membasahi bantalnya yang kemudian membawanya ke dalam mimpi yang sedikit membuatnya tenang.

   Malam itu telah berlalu berganti pagi yang cerah. Rara terbangun dan menyadari matanya bengkak karena menangis semalam. Segera dia membersihkan diri dan berjalan ke meja makan untuk sarapan bersama keluarganya. Ririn terlihat ceria seperti biasa hanya saja dia sedikit pendiam. Tak seperti Rara yang menyimpan segala rahasia dalam kesedihannya dalam setiap harinya.

   Rara duduk di kursi yang biasa didudukinya. Yaitu disebelah Ririn dan di hadapan ayahnya. Rara berusaha sebisa mungkin menundukan kepalanya agar tak terlihat bahwa matanya bengkak tetapi ayahnya tetap memperhatikannya. Jujur, ayahnya memang baik, namun pekerjaannya buruk.
"Matamu kenapa Ra?" Tanya ayahnya.
"Semalam mengerjakan tugas sampai larut" jawabnya bohong.
"Anak jaman sekarang memang selalu dibebani tugas. Baiklah selesaikan sarapan kalian, kemudian berangkat sekolah. Ayah yang antar" kata ayahnya semangat.
"Asalkan ayah dalam keadaan sadar dalam mengemudikannya" ucap Rara seketika membuat semuanya menghadap ke arahnya, terdiam, dan menghentikan suapan sendok mereka, hingga beberapa detik kemudian melanjutkan makannya kembali dengan suasana diam tak ada sepatah kata pun yang terucap.

   Setelah sarapan selesai, Ririn, Rara, dan ayahnya pun memasuki mobil hingga perjalanan sampai menuju sekolah. Ririn melambaikan tangannya hingga mobil ayahnya melaju jauh di balik gerbang. Sedangkan Rara langsung beranjak pergi dan berjalan menjauh.
"R-Ra, kau tak seharusnya berbicara seperti itu ke ayah. Kau bisa menyinggungnya" kata Ririn memegang pundak Rara.
"Menyinggung untuk hal yang sebenarnya memang terjadi tidak masalah kan" jawab Rara mengibaskan pundaknya hingga tangan Ririn terhempas.

   Pelajaran di sekolah begitu membosankan dan membuat Rara tak memahaminya satu pun karena dia seringkali melamun. Tak lama setelahnya, terdengar bel pulang. Rara keluar dari gerbang sekolah dan terlihat Ririn sedang berdiri di pinggir jalan menunggu.
"Siapa yang kau tunggu?" Tanya Rara.
"Aku menunggu ayah dan kau" jawab Ririn.
"Ayah tidak akan menjermput. Kita pulang pakai kendaraam umum" kata Rara dengan ekspresi datar. Mereka pun sampai rumah dengan kendaraan umum. Dan benar, ayahnya tak menjemput mereka. Bahkan, tak pulang lagi hingga pagi kembali lagi.

   Ternyata, ayahnya mengalami kecelakaan di jalan karena mengemudi dalam keadaan mabuk. Namun ayahnya tidak mengalami luka parah. Mobilnya ringsek setelah menabrak pohon besar dan satu orang pengendara motor tewas karenanya. Ayahnya berhasil dipenjara oleh polisi. Keluarga Rara semuanya merasa kecewa dan marah. Hingga tak ada lagi yang mau menjenguk ataupun berbicara kepada ayahnya, kecuali Ririn yang begitu mengharapkan ayahnya.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang