3. Bianglala

57 5 5
                                    

   Sore yang sunyi. Matahari yang tenggelam tak mengisyaratkan kata sedikit pun, hingga perlahan bulan muncul dalam gelapnya awan.

   Rara sangat menyukai bulan. Hampir tiap malam dia akan menunggu bulan datang dari jendela kamarnya. Bulan yang selalu menyinari hatinya bagai langit yang kelam. Ia tak pernah menyerah untuk menghiasi malam walau terkadang langit hitam mengalahkannya.

   Terkadang Rara berharap bahwa bulan itu adalah sesosok manusia sama sepertinya. Mungkin Rara akan belajar banyak dari bulan yang tak pernah berhenti memutari bumi dan menyinari malam. Bulan tak pernah lelah menemani bumi. Tak seperti manusia yang cepat lelah atau bosan terhadap sesuatu.

   Suasana damai sejenak mengalir dalam tubuh dan pikiran Rara malam ini. Hingga tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamar.

   "Ra, kita ke pasar malam yuk! Kebetulan sekarang kan malam minggu" kata Ririn yang masih berada di depan pintu yang tertutup.

   Rara membuka pintu dengan malas. Hingga langsung melihat wajah Ririn yang begitu semangat.

   "Tidak ada yang menarik di pasar malam. Gelap" jawab Rara.

   Ririn sejenak berpikir. Baru kali ini ada orang yang mengatakan pasar malam gelap. Karena setahunya, pasar malam pasti memiliki lampu kerlap-kerlip.

   "Disana kan ada lampu Ra. Banyak cogan" jelas Ririn.

   "Kau itu sudah gadis Ra. Jangan dirumah terus nanti ngga dapet jodoh" kata ibu yang kebetulan lewat sambil membawa beberapa makanan ke meja dapur.

   "Oke! Oke!" Jawab Rara sedikit kesal.

   Beberapa menit kemudian mereka pergi menuju pasar malam yang lokasinya dekat dengan rumah mereka.

   "Buruan Ra. Aku sudah ditunggu teman-temanku disana" kata Ririn dengan cemas.

   "Yaudah kamu jalan duluan aja" jawab Rara dengan santai.

   Ririn pun berlari cepat seperti kancil yang diburu harimau. Namun kancil ini terlalu sempurna untuk disebut kancil.

   Rara terus berjalan hingga tak lama kemudian sampai di pasar malam tersebut. Ternyata benar, pasar malam ini tidaklah gelap. Rara merasa jadi sedikit lola ketika mengingat ekspresinya itu. Sekarang Rara bingung akan melakukan apa disini. Kemudian dia hanya berdiri sambil melihat sekitar.

   "Hai! Mau naik kora-kora?" Tanya seseorang dari belakang mengejutkannya.

   "Tidak" jawab Rara singkat karena menyadari bahwa orang itu adalah Arga. Sebenarnya dia juga tidak menyukai wahana tersebut karena terlalu menyeramkan.

   "Baiklah nanti lagi ya" ucap Arga sambil berjalan melambaikan tangannya sedikit. Bahkan, mungkin bisa dikatakan sangat sedikit.

   Rara menemukan kursi di sebelah penjual es krim. Namun dia tidak membeli es krim. Dan malahan sibuk bermain handphone.

   "Kau sendiri Ra? Ikut aku saja yuk kita mencoba wahana" ucap Ririn tiba-tiba di sebelah bangku Rara.

   "Tidak. Aku disini saja" jawab Rara.

   Ririn pun pergi berjalan-jalan lagi dengan temannya. Ririn memang memiliki banyak teman tidak seperti Rara yang lebih suka menyendiri.

   Handphone Rara kemudian kehabisan baterai. Matilah aku, apa yang harus aku lakukan sekarang, batinnya. Hingga Arga kembali setelah menaiki kora-kora.

   "Kita naik bianglala sekarang?" Ajaknya.

   Rara mengangguk karena kali ini Rara sedikit menghargai ajakan Arga. Jika Rara terus menolaknya, maka dia juga akan kehabisan kerjaan sambil menunggu dengan ponselnya yang mati.

   Bianglala terus berputar membawa Rara dan Arga yang berada dalam satu keranjang saling diam. Ketika keranjang mereka tiba di bagian teratas, tiba-tiba mesinnya mati. Ini artinya gawat karena mereka berdua sama-sama takut pada ketinggian.

   Arga yang masih memegang kuat besi keranjang mencoba berkata kepada Rara yang gemetar dan menutup mata.

   "Mengapa kau selalu diam. Katakan sesuatu, jangan diam saja. Maka kita tidak akan takut" kata Arga.

   "Karena sebaik-baiknya orang berkata adalah diam" jawab Rara aneh.

   Arga yang setengah ketakutan kemudian tertawa terbahak-bahak. Rara pun membuka matanya sedikit karena bingung apa yang Arga tertawakan.

   "Bukan begitu, yang benar adalah sebaik-baiknya orang berkata adalah mereka yang berkata baik" kata Arga sambil menepuk jidat.

   "Terserah!" Jawab Rara.

   Tak lama kemudian mesin pun kembali menyala dan menghilangkan rasa ketakutan mereka.

   Setelah selesai menaiki bianglala, mereka pun berdiri di depan kedai es krim lagi.

   "Kau mau es krim?" Tanya Arga.

   "Tidak" jawab Rara mengurungkan niatnya untuk berkata mau.

   "Baiklah, tunggu aku disini. Aku akan membeli es krim" ucap Arga.

   "Kan aku sudah bilang tidak mau" spontan Rara.

   "Untukku sendiri tidak boleh?" Jawab Arga.

   Arga pun membeli es krim. Namun ternyata dia membelinya dua dan membuat Rara bingung.

   "Kau rakus" kata Rara kepada Arga.

   Arga hanya membalasnya dengan senyuman dari bibirnya yang tersimpul manis. Sekarang dia terlihat seperti bulan dalam hidup Rara. Hingga Rara langsung membuyarkan angannya itu.

   "Tolong pegang ini" kata Arga menyodorkan es krim yang baru saja dibeli. Dan pura-pura memperbaiki tali sepatunya.

   "Aku pulang duluan ya!" Ucap Arga spontan sabil berlari sangat cepat dengan hanya mengambil satu es krim. Satunya dia biarkan di tangan Rara. Hal itu membuat Rara bingung karena es krimnya masih ditangannya.

   "Es krimnya?!" Tanya Rara bingung.

   "Buat kamu saja" jawab Arga dengan semangat.

   Baiklah, sekarang Rara terjebak dalam jebakan Arga. Hingga dia terpaksa memakan es krim yang ternyata lezai ini sebelum meleleh jika dia harus mengembalikannya besok ketika jam sekolah kepada Arga.

   NEXT?
   TOLONG KOMEN YA KALO ADA KESALAHAN. DAN JANGAN LUPA BUAT VOTE😊

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang