Semangat Hidup

42 7 1
                                    


Itulah dia, duduk sendiri di pojok kelas, menggenggam sebuah kantong plastik sambil menatapi selembar foto dengan mata yang hampa. Bel pun berbunyi, siswa-siswi dengan segera meluncur keluar untuk menikmati makanan dan minuman yang tersedia di kantin. Meninggalkan si bocah sendirian di pojok kelasnya, duduk dalam diam, meratapi yang sudah tiada. Lucu ya? Banyak sekali kenangan, banyak sekali canda dan tawa. Banyak sekali tangisan, teriakan, pelukan serta senyuman. Hilang dalam sekejap mata, menjadi suatu harta yang tersimpan di kedalaman hati. Dia pun tertawa, memegang kantong plastiknya sambil menatapi foto kawannya semenjak masa TK, teman yang sudah seperti saudara sendiri.

"Bagaimana kabarmu sobat? Tenang ga di sana? Tunggu sebentar ya, nanti aku nyusul."

Ucapnya, meremas foto kawannya dalam genggamannya, sebelum memasukkannya kedalam kantong. Bel berbunyi, menandai dimulainya pelajaran selanjutnya.

***

KRIINNGG.

Bel berbunyi, waktunya untuk pulang bagi siswa-siswi yang sudah menempuh pelajaran selama setengah hari di sekolah.

"Hey! Bung, mau pergi main ga? Anak-anak yang lain juga ikutan nih." Teriak seorang anak, teman sekelasnya. Kawan dari kawannya yang sudah tiada.

"Oh, ga usah. Aku ada urusan di rumah."

Dia menjawab, dan segera bergegas melangkah pulang, melewati gerbang sekolah sebelum berjalan pulang ke arah jembatan.

"Kasihan ya dia." Ujar beberapa guru yang menatap dari balik jendela ruang guru.

"Dia sudah kehilangan kedua orangtuanya sejak kecil dan sekarang kehilangan sahabatnya." Kata beberapa ibu guru sambil menggelengkan kepala mereka. Tak hanya itu saja, justru mereka memikirkan bagaimana nilainya akan anjlok. Tanpa adanya teman ataupun orangtua untuk membimbingnya, apakah akan ada semangat baginya untuk meneruskan sekolahnya? Dia juga sangat pendiam dan jarang bersosialisasi, walaupun sudah SMA. Namun wali kelasnya menatap dari ujung ruang guru, terlihat kepedihan dan rasa kasihan di matanya. Melihat muridnya sendiri tersiksa.

Guru-guru dan siswa-siswi pun melanjutkan obrolan mereka, gosip dan rumor. Sedangkan dia, sang bocah yang telah kehilangan begitu banyak itu, hanya terus melangkah. Melangkah dan melangkah, melewati swalayan, melewati persawahan, lalu jembatan layang, jembatan di mana Ia kehilangan sahabatnya. Tewas, ditabrak seorang pengendara mabuk pada malam hari, sehabis membeli obat untuk ayahnya yang jatuh sakit.

Dia pun melambaikan tangannya, seakan-akan sedang mengucapkan salam kepada kawannya yang sudah tiada. Melanjutkan perjalanannya ke rumah ayah temannya.

"Permisi."

Ucapnya sambil mengetok pintu rumah, menuggu jawaban dari ayah temannya yang selalu menunggu di ruang tamu.

"Masuk."

Ucap ayah temannya itu. Mengijinkan sang bocah untuk masuk ke dalam. Dia pun masuk ke dalam rumah, memasuki ruang tamu sambil meletakkan kresek obat sang ayah di atas meja tamu.

"Ini ya pak."

Dia pun menaruh obat-obatannya di atas meja, sebelum dengan cepat bergegas keluar. Meninggalkan rumah temannya yang lama, sebelum berjalan ke arah jembatan, menggenggam foto kawannya sekali lagi, menatapinya sampai mengenang begitu banyak kenangan yang telah berlalu.

"Bagaimana kabarmu sobat? Apakah nyaman di sana? Tentram, tiada rasa sakit dan derita. Aku jadi ingat, dulu kau pernah bilang bahwa kau ingin menjadi seorang pendeta. Ingin mencoba untuk membuat dunia ini menjadi dunia yang lebih baik. Kuingat kau ingin membuka panti untuk anak – anak yang terlantar, memberikan beasiswa bagi mereka yang membutuhkan. Aku ingat. Saat kau berjanji akan menemaniku hingga aku dapat menemukan tujuan hidupku. Saat aku bisa hidup tanpa khawatir akan hari esok, tanpa rasa takut. Tapi..."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Semangat HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang